Banyak yang beranggapan Dunia tari Tanah Air tak lagi mengeliat seperti dulu. Lesu, mati suri, tak bisa lagi meliuk dalam irama zaman yang terus berkembang seiring desas desus aura melenial yang nyaris memupuskan rasa cinta akan warisan agung tari para leluhur bangsa.
Miris rasanya mendengar itu. Sebagai anak bangsa yang pernah dibesarkan dan didik dalam lingkungan budaya tradisi yang kuat, seakan tak percaya bila hal itu betul-betul terjadi.
Sabetan tajam keris-keris pusaka serta jentikan jemari diantara liukan tubuh para penari kebanggaan kita selama ini, seakan dipandang sebelah mata. Penari-penari itu kini berpindah dari formasi satu ke formasi berikut diantara mereka yang terlalu sibuk dengan obrolan dunia, sehingga tak sempat lagi menoleh kepada penari-penari yang sedang berjuang menyelesaikan adegan cinta akan negeri.

Padahal Jika kita tahu, untuk menyelesaikan adegan itu, menuntut ketangguhan lahir bathin dalam memerankannya. Menembus waktu yang terus menuntut berbagai daya kreatif, agar tak tergilas oleh alasan klasik ini itu, yang sebenarnya merupakan kedok dari detak kegamangan dalam menghadapi berbagai rintangan.
Bila kita bicara penari, sosok yang selalu berperan penting dalam dunia tari itu sendiri, mungkin tidak banyak yang dapat bertahan dari hantaman gelombang waktu yang terjadi hari ini. Jika ingin bertahan, Ia harus siap dengan berbagai tantangan.
Sosok-sosok penari tangguhlah yang dapat bertahan dan akan terus menari diantara gelombang waktu yang semakin mendesak dirinya. Ruang tubuh tempat ia menitipkan berbagai kosa kata, menjadi harapan tanpa henti untuk terus bersuara. Tolehan tanpa makna dari mereka yang berselisih faham, tak ia pedulikan seiiring energy tubuhnya yang terus menari.