Bedhaya Tirta Tirja ; Doa Menuju Jalan Pulang …

Pagelaran karya maestro tari Jawa Rusini ini digelar dimasa pandemi pada 30 November 2020 di Pendopo Agung Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta. Terpaksa diselenggarakan dengan sangat prokes; pemeriksaan suhu, memakai masker, berikut jarak kursi penoton dan pembatasan hanya mengundang 70 tamu akan tetapi ditayangkan secara live streaming, secara virtual.
C:\Users\PERSONAL Co\Downloads\8T2A7618.JPG
(Sembilan penari Bedhaya Tirta Teja menari dibawah pantulan cahaya lampu hingga menyerupai menari di atas permukaan air)

Pagelaran karya maestro tari Jawa Rusini ini digelar dimasa pandemi pada 30 November 2020 di Pendopo Agung Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta. Terpaksa diselenggarakan dengan sangat prokes; pemeriksaan suhu, memakai masker, berikut jarak kursi penoton dan pembatasan hanya mengundang 70 tamu akan tetapi ditayangkan secara live streaming, secara virtual. Kesembilan penari bedhaya yang sudah sepuh dengan usia di atas 60 tahun bahkan ada yang lebih dari 70 tahun. Pada pagelaran ini juga di putar Film dokumenter tentang Rusini Sang Maestro karya Fafa Utami.

Sembilan penari sepuh dengan berkonde Jawa, berkebaya biru berbahan bludru dan berkain motif batik Tirta Teja serta mengenakan sampur warna biru muda. Penari Rusini menyajikan karya Bedhaya Tirta Teja di Pendopo . Tampak lantai market kayu pendopo Taman Budaya berkilai kebiruan tersorot lampu-lampu, sehingga yang tampak kesembilan penari tersebut seperti menari di atas air laut yang membiru . Gerak demi gerak serta pola-pola bedhayan secara sempurna dibawakan oleh penari-penari sepuh, tarian bedhaya ini terkesan lebih menep. Kesembilan penari tersebut diantaranya; dosen dan pensiunan dosen Institut Seni Indonesia Surakarta, Penari Pura Mangkunegaran, guru tari sanggar, serta mantan penari Bedhaya Ketawang Karaton Kasunanan.

Tirta yang artinya air kehidupan. Teja artinya cahaya. Sementara teja itu berbeda dengan kencana. Sama-sama bermakna sinar. Namun kencana lebih berupa sinar yang muncul dari logam, teja adalah sinar yang lembut. Konsep mengalir seperti air ini memang dirancang oleh Rusini sebagai sebuah konsep hidup yang memang selama ini ia jalani, megalir seperti air. Sehingga konsep air ini juga mengilhami kostum dari karya ini dengan menggunakan motif batik Tirta Teja.

Rusini menuturkan; “Yang jelas air itu sebetulnya nggak banyak aneh-aneh, mengalir dari atas dan mesti arahnya ke bawah, nggak mungkin air mengalir dari bawah ke atas itu nggak mungkin. Sifat ini yang ingin saya wujudkan dalam menarikan sesuatu, tari dan menari itu ayem, tentrem, damai, penuh cinta kasih, yang merendah. Tidak mempunyai sikap yang lebih tinggi, lebih baik, lebih bagus, lebih lebih dari pada yang lain. Jadi sifat ini yang ingin saya tampilkan, semuanya itu mengalir. Akan tetapi terkadang ada air yang membuat banjir itu karena akibat. Akibat dari sesuatu sehingga membuat air itu seperti itu, karena air juga tidak bisa menolak kalau ada sesuatu yang membuatnya menjadi seperti itu, tapi itu bukan kehendak si air. Menurut saya begitu, ini yang saya wujudkan garapan saya yang saya beri judul Tirta Teja. Kenapa kok teja kok bukan kencana. Kan ada tirta kencono kan juga bisa, tapi saya memilih teja. Sama-sama arti kencono dan teja itu yang bersinar yang memberikan sinar. Tapi kalau kata-kata kencana itu bayangan saya itu seperti logam, wujudnya itu logam. Sinar yang muncul dari logam. Tapi kalau teja itu munculnya dari sinar yang lembut. Ya itulah, jadi kalau setiap orang itu punya seperti itu menghadapi situasi sekarang ini yang adanya kebetulan ada penyakit yang menyerang segala penjuru, itu kalau tidak ada rasa manembah, rasa narima, kita itu bisanya nyenyuuwun, berdoa, maka dalam garapan saya tirta teja itu diawali dengan semacam doa itu, doa itu sebagai persembahan sekaligus permohonan kepada Gusti agar pinaringan sugeng wilujeng rahayu slamet, pinaringan emut kabeh, pinaringan tentrem kabeh, ayem kabeh” beliau tuturkan dengan semangat yang luar biasa terkadang suaranya sedikit pelan dan bergetar.

 

Gagasan awal dari terciptanya karya ini adalah oleh Fafa Utami yang memang cita-cita lama ingin berkarya bersama Maestro Rusini sekaligus ingin membuat film dokumenter tentang maestro Rusini; karya persembahan bedhaya kepada para maestro dan penari bedhaya karaton pada masanya, gagasan doa dan pengharapan di masa tua yang terus tidak henti-hentinya diucapkan dalam doa seperti layaknya Bedhaya Tirta Teja ini kita sebut sebagai Bedhaya Jalan Pulang, sekalipun tubuh-tubuh sudah menua akan tetapi terus menari tanpa henti. Dan menari adalah doa serta pengharapan. Karya ini juga semacam revitalisasi tarian bedhaya, yang pada tahun 1860 pernah melakukan lawatan ke Eropa. Tarian ini adalah bentuk persembahan dari para maestro tari Jawa, tetapi juga sebuah jalan yang dipersiapkan untuk kembali pulang. Sekaligus perenungan tentang tradisi dimasa lampau tapi juga dimasa yang akan datang.

Dalam Dunia tari Jawa gaya Surakarta Rusini adalah bidangnya dan Maestro, anak dari pemain Wayang Orang Sriwedari yang sangat legendaris yaitu Yohana Darsi Pujorini (Pergiwa) dan Roesman (Gathutkaca). Pasangan Darsi dan Rusman sampai saat ini masih melegenda sebagai pemain Wayang Orang Sriwedari. Mengajar di Institut Seni Indonesia di Surakarta hingga purna tugasnya. Saat sekarang masih terus menari dan menjadi pembina dan pelatih tari di Karaton Kasunanan Surakarta, Pura Mangkunegaran, Mataya Langen Beksan. Sepanjang hidupnya ia dedikasikan pada kehidupan tari dan Bedhaya Tirta Teja adalah puncak persembahannya kepada dunia tari Jawa.

Bedhaya adalah Bedhoyo adalah sebuah tarian kebesaran yang hanya dipertunjukkan ketika penobatan serta Tingalandalem Jumenengan di Karaton Surakarta (upacara peringatan kenaikan tahta raja). Nama Bedhaya Ketawang sendiri berasal dari kata bedhaya yang berarti penari wanita di istana. Sedangkan ketawang berarti langit, identik dengan sesuatu yang tinggi, keluhuran, dan kemuliaan. Sekitar tahun 1860 peradaban Jawa telah berhasil membawa misi kesenian ke Perancis dengan membawa tarian bedhaya lengkap dengan karawitan . Setelah Belanda mendirikan Pabrik Gula di Colomadu Surakarta, pada masa pemerintahan Mangkunegaran dan dua tahun berikutnya kembali membawa misi kesenian ke Belanda juga tarian bedhaya. Ini sebuah mimpi bagaimana bedhaya kembali hadir di gedung pertunjukan di Eropa dengan menampilkan para penari bedhaya sepuh (tua) yang telah melewati jaman keemasan dimana tarian ini pernah ada (keraton).

 

C:\Users\PERSONAL Co\Downloads\8T2A7678.JPG
Penari Bedhaya Tirta

Bedhaya Sepuh adalah persembahan bagi para penari bedhaya yang memang sudah sepuh (tua), yang selama hidupnya ia dedikasikan pada kehidupan tari, menari baginya adalah harapan dan doa pada setiap gerakan serta helaan nafasnya. Konsep karya ini digagas oleh Fafa Utami sekaligus sebagai art directur dan sutradara dalam film dokumenter Rusini Sang Maestro, penari yang saat ini memfokuskan pada kegiatan kritik tari dan art management. Koreografer oleh Rusini S.Kar., M.Hum , sebagian penari adalah mantan penari Bedhaya Ketawang di Karaton Kasunanan dan penari Pura Mangkunegaran penggarapan iringan gamelan oleh Sri Eko Widodo.

Ibu Rusini sosok yang saya kenal sejak menjadi mahasiswa beliau waktu itu masih STSI Surakarta dan saya mengingat belajar menari gaya Putri Surakarta materi materinya seperti Rantaya, kemudian Srimpi, Bedhaya dan sebagainya. Tapi secara pribadi sejak dari mahasiswa memang saya mengidolakan beliau bukan hanya pada cara mengajar, teknik beliau mengajar tetapi juga konsep berpikir beliau tentang cara mengenalkan, memahamkan mahasiswanya tentang hal menari khususnya. Bagaimana kita bisa mencintai tari Jawa ini bukan hanya pada fisik kita melihat tubuh seorang penari, tarian apa yang ditarikan tetapi bagaimana menjadi penari itu harus mencintai Tari itu sendiri lahir batin baik dalam keadaan menari maupun tidak, itu yang membikin saya punya cita-cita kemudian bisa menjembatani ataupun berkarya bersama dengan ibu Rusini.

Ketaatan dan ke-profesionalan seorang Rusini juga dinyatakan oleh Wahyu Santosa Prabowo bahwa;

“Rusini seorang yang sangat taat, disiplin dan dalam menjalani proses berkesenian sangat intens. Ketika beliau mengajar juga sangat detil, sering kali mbak Rus panggilang akrabnya kerap mencontohkan langsung kepada para mahasiswanya. Rasa kepenarian beliau itu Ketika menari sudah lepas dari persoalan teknis, gerak tubuh, bentuk tetapi sudah melebur menyatu dengan rasa”.

Bedhaya Tirta Teja juga disebut budaya sepuh dinamakan demikian karena tari karya seni itu dipentaskan oleh 9 perempuan yang rata-rata berusia 60 tahun ke atas. Mereka antara lain Rusini (71), Tantin Sri Marwanti (67), Endang Saraswati (64), Sri Setyoasih (59), Endang Mintarsih (63), Suharini (69), Tini Umiwati (62), Theresia Sri Kurniati (65) dan Cahyaningtyas Dwi Ana Krisyanti (51). Mereka adalah para penari yang telah melewati jaman keemasan tarian ini. Sementara itu, penggarapan iringan gamelan dipercayakan oleh Sri Eko Widodo. Pertunjukan Bedhaya Tirta Teja dan pemutaran film Rusini sang Maestro bisa kembali dilihat di akun youtube Fafa Utami. Riset dan penyelenggaraan pergelaran ini terselenggara atas bantuan hibah Fasilitas Bidang kebudayaan Kemendikbud.

(Fafa Utami ; Penggiat Seni Pertunjukan – Dosen pada Fakultas Seni pertunjukan Institut Seni Indonesia Surakarta).

Aseti Magz Edisi April 22

KREATIVITAS SENI RAMPAK BEDUG

Dengan adanya Peraturan Gubernur Nomor 15 Tahun 2014 tentang Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal (Mulok) Seni Budaya Banten Bagi Pendidikan Menengah

Baca »
Aseti Magz Edisi April 22

RAKERDA

DPD Aseti Prov. Banten dalam perjalanannya terus berbenah dan bersinergi dengan pihak-pihak terkait lainnya, hal ini dilakukan untuk menemukan bentuk

Baca »
No more to show