Gagasan untuk memunculkan generasi terbaru dari koreografer tari Sumatera Barat merupakan tawaran terbaik Sekoci (Serikat Koreografer Cahaya Indonesia) untuk mempertautkan kembali kesejarahan tari kontemporer dari Sumatera Barat. Gagasan tersebut kemudian dielaborasi dalam bentuk pengurasian terhadap beberapa koreografer muda untuk diajak berdiskusi soal proses kreatif dan berhulu pada pementasan 10 koreografer dalam Festival MenTARI, 6-9 April 2021. Sekoci sendiri merupakan serikat yang didirikan oleh para koreografer, praktisi, dan pelaku tari dari Sumatera Barat dan tanah rantau dengan kerisauan yang sama dan kesadaran untuk mendorong perkembangan tari yang lebih baik dari Sumatera Barat dan Indonesia. Mereka adalah Indra Yuda, Susas Rita Loravianti, Joni Andra, Herlinda Mansyur, Ali Sukri, dan Hartati.
Proses penghadiran festival tersebut tidak melalui jalan lempang. Peta, atau lebih tepatnya persebaran, koreografer muda dan komunitas mereka di Sumatera Barat tidak gampang dilacak. Mereka jarang muncul dalam peristiwa-peristiwa tari dalam skala nasional. Bahkan, sebagian dari mereka terbentur dalam kekaryaan sebab tidak dapat membayangkan untuk apa mereka berproses, bagaimana karya dapat dipertontonkan, dan pada agenda apa mereka akan menghadirkan karya. Agaknya persoalan klasik dalam dunia seni pertunjukan di daerah ini yang diurai kembali oleh Sekoci dengan memberikan kembali pengetahuan mengenai perkembangan dunia tari dan memberikan ruang bagi koreografer muda tersebut untuk mempertontonkan karya mereka di hadapan publik.
Sekoci bahkan memandang terdapat persoalan serius dalam regenerasi para pegiat tari di Sumatera Barat, semacam keterputusan pengetahuan. Pandangan ini menurut Sekoci disebabkan karena tidak adanya ruang menantang bagi generasi baru koreografer untuk menciptakan karya. Kalaupun terdapat ruang, hanya dalam bentuk lomba yang sifatnya tidak memberikan kematangan rangkaian proses penciptaan. Lomba yang dibuat alakadarnya sudah dapat dipastikan tidak membuat para koreografer berkembang dengan baik dan menemukan karakter mereka masing-masing. Akhirnya mereka seperti tertinggal dari kemajuan, tidak melihat perkembangan tari yang ada.
Festival MenTARI kemudian hadir menjadi festival dengan fondasi baru untuk basis proses penciptaan tari di tengah krisis regenerasi koreografer Sumatera Barat. Dalam skema penggarapan, festival MenTARI menggunakan metoda mentoring selama tiga bulan, sebelum para koreografer muda terpilih tersebut menghadirkan karya mereka ke hadapan publik. Koreografer muda terpilih ditunjuk oleh board festival berdasarkan potensi, perkembangan selama ini, dan potensi-potensi lain yang patut diperlihatkan kepada dunia tari di Indonesia.
Materi mentoring terdiri dibangun dari lima aspek; koreografi, gagasan, musik tari, artistik dan dramaturg. Metoda ini dan festival ini dilaksanakan dengan harapan, selain para koreografer dapat mengembangkan kemampuan dan wawasan tari, juga dapat mengkomunikasikan gagasannya dengan baik serta dapat bersaing dengan koreografer lainnya di Indonesia. Tentu saja mereka akan diminta mengembangkan pengetahuannya tentang akar budaya sendiri dan dapat bicara persoalan global melalui budayanya.
Melalui postingan di media sosial Festival MenTARI @festival_men_tari kita dapat melihat prosedur mentoring bagi para koreografer muda tersebut berlangsung. Mulai dari kegiatan yang diistilahkan dengan “Ruang Reka” kita dapat melihat bagaimana penyelenggara festival mendampingi para koreografer muda terpilih belajar untuk menyampaikan gagasan mereka terhadap penciptaan tari hingga mengasah visi artistik mereka dalam sebuah pertunjukan. Para koreografer muda terpilih pun didampingi oleh beberapa orang mentor yang diistilahkan dengan “Teman Berproses”, di mana mereka intens melakukan diskusi dan menggali lebih dalam kehendak yang ingin dihadirkan para koreografer muda di atas panggung pertunjukan.
Teman Berproses dalam mentoring ini terdiri dari lima orang yang masing-masing mereka mempunyai kapasitas dan kemampuan berbeda dalam melihat tari. Mereka adalah Hanafi, Adinda Luthvianti, Taufiq Adam, Heru Joni Putra, dan Hartati—dari perupa hingga koreografer. Selama Januari hingga Maret kelima Teman Berproses ini medampingi sepuluh koreografer terpilih dalam Festival MenTARI untuk menguatkan dan memberi pandangan terhadap ide-ide yang ingin dihadirkan dalam bentuk tari.
Proses mentoring yang lebih serupa laboratorium bersama ini diistilahkan dengan “Belakang Layar” yang kemudian juga menjadi tema besar dalam festival. Tema ini dianggap sebagai kunci bagaimana program dijalankan dan berkaitan dengan latar belakang penyelenggaraan festival. Penyelenggara menganggap kerja-kerja belakang layar menjadi penting ketika hendak membangun ekosistem koreografer dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kekaryaan. Penyelenggara juga membangun kerja-kerja antar disiplin, pengalaman manajerial pertunjukan, proses membangun jaringan dan membangun jejaring ekosistem pentonton.
Dalam catatan penyelenggara, lima aspek (koreografi, gagasan karya, dramaturgi tari, musik tari, artistik) merupakan aspek-aspek yang diberikan pada koreografer muda sekaligus menghubungkannya dengan ide atau gagasan mereka hingga menjadi sebuah konsep karya tari. Dengan artian, lima orang “teman berproses” merupakan seniman sekaligus mentor yang kapabilitas mereka sesuai dengan lima aspek tersebut dan mendampingi proses penciptaan selama tiga bulan. Sejauh ini, mentoring dilakukan secara daring dalam satu minggu dengan 5 materi. Koreografer hadir dikelas mentoring dengan membawa ide/gagasan mereka membongkar dan mendiskusikan dengan mentor terkait. Dalam satu bulan pertama materi konsep karya sudah harus selesai, bulan kedua mentoring sudah dalam bentuk presentasi dengan pertemuan bersama mentor dua minggu sekali, karena koreografer telah bekerja dengan penari. Pada bulan ke tiga pertemuan dua minggu sekali dengan bahasan lebih kepada hal-hal artistik pendukung atau menentukan keputusan terakhir yang berkaitan dengan artistik atau pemanggungan.
Tujuan metoda mentoring ini dianggap agar setiap koreografer dengan ide dan gagasannya betul-betul digiring ke proses penciptaannya masing-masing. Sehingga fungsi mentor tidak hanya untuk membuka cakrawala mereka tapi juga membantu mengurai proses dan teman diskusi para koreografer. Dengan harapan, metoda ini langsung menjadi praktik berkarya yang intensif, efisien, dan sistimatis.
Yang Muda dan Yang Segar
1. Salah satu adegan dalam Aksara Jenggala karya Deny Maiyosta
2. Pertunjukan SIklus Minus karya Ipraganis
3. Marya Dance dalam koreografi berjudul Ibu Kedua
4. Hanyut karya Yesriva Nursyam
5. Adegan dalam pertunjukan Satu X Satu karya Safrini
6. Adegan dalam pertunjukan Aku-Aku karya Nurima Sari
Doc. Festival MenTARI (Juli Hendra Aciak)
Tiga hari pertunjukan karya koreografer muda dalam Festival MenTARI dapat dikatakan memberikan angin segar bagi iklim tari di Sumatera Barat. Jika tidak sepenuhnya dapat dikatan penghadiran karya mereka adalah bentuk-bentuk dari kebaruan, tapi spirit dan gagasan mereka telah memantik sebuah energi baru.
Setidaknya, dengan pantikan energi tersebut, kesegaran iklim tari dari Sumatera Barat dapat terhirup sampai jauh dan memberikan semangat pula pada rekan-rekan koreografer muda di daerah lain. Selama tiga hari, di gedung pertunjukan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Padang, sepuluh koreografer muda tersebut berupaya menunjukkan bagian terbaik bagi penonton. Sepulu koreografer tersebut adalah Deny Maiyosta dengan karya “Aksara Jenggala”, Hendri dengan karya “Darah-Daging”, Marya Dance “Ibu Kedua”, Ipraganis, “Siklus Kedua”, Maria Rianti “Jiwa yang Terkunci”, Afrizal “Negeri Sungsang”, Safrini “Satu X Satu”, Yesriva Nursyam “Hanyut”, Nurima Sari “Aku-Aku”, David Putra Yudha “Sama Dengan”.
Di hari pertama, 6 April 2021, hadir karya Deny Maiyosta berjudul “Aksara Jenggala”, Hendri dengan karya “Darah-Daging”, Marya Dance “Ibu Kedua”. Melalui karya Denny Mayosta di hari pertama penonton dapat melihat bagaimana ide dari koregrafer muda dalam festival ini menyentuh persoalan manusia dan alam. Denny Maiyosta melalui “Aksara Jenggala” berupaya membagi pertunjukannya melalui tiga bagian. Ia banyak bercerita persoalan keselarasan alam dalam karyanya.
Secara gagasan, ia berupaya menghadirkan bagaimana pengolahan tubuh-tubuh penari sebagai objek alam atau hutan yang di rusak oleh tangan-tangan manusia yang tidak betanggung jawab. Respon tersebut berupa jatuh banggunnya tubuh penari seperti pohon yang roboh-tumbang, patah, retak dan hancur. Gambaran ini divisualisasikan kedalam bentuk-bentuk gerakan kelompok, individu dan respon beberapa penari seperti pelaku (manusia) dan pohon itu sendiri. Simbol dari tubuh-tubuh penari ini dianggap sebagai parafrase kondisi alam yang telah di eksploitasi oleh manusia yang berakibatkan buruk pada alam dan berimbas pada manusia itu sendiri.