Literasi Tari: Membaca, Menulis dan Berpikir Kritis

“Terlalu sering seni dipahami seolah hanya urusan keindahan, hiasan, ketrampilan ataupun hiburan.” “A good art-work is more than just an entertainment. It provides a kind of scaffolding for people to make sense of their individual as well as collective life.”

Membaca, Menulis dan Berpikir Kritis1

Oleh Sal Murgiyanto2

” Terlau sering seni dipahami seolah hanya urusan keindahan, hiasan, ketrampilan ataupun hiburan” (B. Sugiharto 2013)3 “A good art-work is more than just an entertainment. It provides a kind of scaffolding for people to make sense of their individual as well as collective life.“4

(Yuval N. Harari 2020 slightly edited).

Kenapa kritik tari di Indonesia tidak tumbuh dan berkembang seperti yang diharapkan? Pertanyaan di atas disampaikan kepada saya untuk kita pikirkan bersama. Tentu karena ada yang salah. Dan untuk dapat menemukan apa dan di mana salahnya, seturut Bernard Lewis ada dua pertanyaan yang bisa diajukan. Pertama, “Apa salah kita” dan kedua “Siapa yang melakukannya pada kita?” Pertanyaan kedua membimbing penanya ke teori konspirasi dan paranoia. Pertanyaan pertama membawa kita ke pemikiran yang lebih positif, “Bagaimana agar kita bisa melakukannya dengan benar.”5

Anak-anak belajar mengenal dunia sekitarnya pertama-tama melalui tubuh: merasakan panas, dingin, manis, asin, pahit, jatuh, terluka, sakit, nikmat, nyaman, dan bahagia. Sementara pemahaman tentang nilai, konsep, ide dan pergaulan kita pelajari kemudian dari orang-orang yang lebih tua: ayah, ibu, paman, nenek, kakek, kakak, teman atau tetangga. Penjelasan mereka kita camkan dan kita gunakan sebagai pedoman melakukan tindakan.

Ketika mulai bersekolah peran itu diambil oleh guru dan buku-buku. Mereka diajar bukan saja untuk memelihara/mengembangkan ketrampilan dan kepekaan tubuhnya tetapi juga tiga kemampuan dasar berpikir kritis: membaca, menulis dan matematika yang di Euro-Amerika dikenal sebagai 3 R’s (Reading, wRiting and aRithmathic). Sebagai kanak-kanak, kita sering menganggap jawaban dari orang yang lebih tua atau guru “selalu” benar. Karena kita masih berpikir sederhana dan otak kita belum bekerja dengan kapasitas penuh.

Tumbuh besar anak-anak semakin pintar, mereka pun sadar bahwa, “they are only human” bukan pakar yang memahami segala urusan dunia dan bisa saja membuat kesalahan. Pendidikan mulai dipilah antara yang cenderung ke praktek dan ketrampilan (vocational, professional education) dan yang lebih menekankan kemampuan berpikir kritis (liberal education). Perbedaan pendapat mendorong sejumlah remaja cerdas mengkritisi penjelasan orang lain dan coba mencari jawab sendiri atas pertanyaan-pertanyaan mereka melalui penelitian.

Di sinilah masalahnya, seakan-akan ada kesepakatan bahwa anak-anak yang dididik menjadi terampil (tukang) tidak perlu dilatih berpikir dan yang diajari berpikir tidak perlu trampil. Pada hal semestinya anak-anak dilatih untuk mengembangkan kemampuan dirinya secara penuh: jasmani dan rohani, tubuh dan jiwa, body, mind and spirit. Perlu pemahaman literasi di bidang yang ditekuni.

Dalam pidato penerimaan Hadiah Nobel 2020 yang diterimakan kepada penyair wanita America Louise Gluck, Anders Olsson, anggota Akademi Swedia, memuji Gluck yang mewarisi semangat Emily Dickenson, yang tidak pernah mau menerima begitu saja ajaran atau keyakinan apa pun [dari orang lain].

Di sekolah liberal sejak awal diajarkan bahwa, “Education is not the learning of facts, but the training of the mind to think.” (Albert Einstein). Apa lagi di masa perubahan besar seperti sekarang, kearifan berpikir semakin diperlukan. Baru-baru ini Illawara Christian School (25 June 2019) menegaskan,

“We cannot predict the knowledge that will be essential for our students in another ten years. What we do know now is the capacity to solve prob-lems and think analytically will continue to grow in importance.”

Sebuah kondisi yang amat berbeda dengan tradisi pendidikan kita di Indonesia. Saya dibesarkan di sebuah keluarga priyayi Jawa. Semasa kanak-kanak saya diajari untuk patuh (mbangun turut), menghormati dan menghargai (kurmat tuwin ngajeni) tidak menentang kemauan (mancahi karsanipun) orang tua dan juga guru.

Belajar menari klasik Jawa, saya dilatih keras dan tekun untuk menguasai wiraga (ketrampilan gerak), wirasa (olah/kepekaan rasa) dan wirama (musikalitas) serta mematuhi pakem yang mengatur secara rinci apa yang harus dipedomani dan apa yang boleh dan tidak boleh. Olah pikir, inovasi dan kreativitas tidak menjadi perhatian dan khusus untuk para senior terpilih. Terlalu banyak bertanya dianggap crigis atau cerewet dan mengganggu yang konotasinya buruk.

Pendidikan untuk Apa?

“Pendidikan adalah sarana yang ampuh untuk mengubah dunia dan jalan hidup anda”

(Murgiyanto)

Kalau kita bertanya kepada mahasiswa tentang apa tujuan mereka  bersekolah? Jawabannya beragam. Banyak yang sangat pragmatis: dengan ijazah di tangan ia bisa mendapatkan pekerjaan yang akan menjamin kehidupan di masa depan. Kehidupan yang bagaimanakah? Kehidupan yang berhasil. Bagaimana keberhasilan itu didefinisikan? Orang Jawa, menyekolahkan anaknya supaya kelak bisa hidup layak dengan  menguasai salah satu, salah dua, atau ketiga aspek hidup berikut: derajat (kedudukan), semat (harta kekayaan) dan kramat (pengaruh/ wibawa).

Lama belajar di Amerika Serikat saya akrab dengan “The American Dream” yang umumnya dipahami sebagai, “…one of success, home ownership, college education for one’s children, and have a secure job to provide these and other goals.” (Leonard Boswell). Tujuan hidup yang sangat bagus. Pertanyaannya, apakah integritas atau “martabat” manusia, tidak diperlukan? Seperti diingatkan secara kritis oleh Azar Nafisi, “The negative side of the American Dream comes when people pursue success at any cost, which in turn destroys the Vision and the Dream.” Ungkapannya di Indonesia, ada bahaya jika dalam memburu sukses, orang meng-halalkan segala cara. Moralitas dan solidaritas penting sebagaimana ditegaskan oleh Kemala Harris, “If you are fortunate to have opportunity, it is your duty to make other people have those opportunities as well.”

Tujuan hidup serupa itu, dicapai melalui pendidikan dengan tujuan jangka pendek: vocational/kejuruan dan professional education yang mengutamakan ketrampilan untuk profesi tertentu. Atau melalui pendidikan liberal yang tujuannya “[to empower] individuals with broad knowledge and transferable skills, and a stronger sense of values, ethics, and civic engangement (Wikipedia).

Membaca, Mencari Makna Bagaimana...

  1. Tulisan ini saya kembangkan dari makalah yang saya tulis untuk Webinar “Kritik Tari Kita Kini”; diselenggara-kan Jurusan Tari, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia di Yogyakarta, Kamis, 5 November 2020.
  2. Independent researcher, alumi ASTI Yogyakarta, Universitas Colorado dan New York University. Purna tugas dari Institut Kesenian Jakarta (1977-2015) dan Pascasarjana Taipei National University of the Arts (1993-2011). Kini mengajar paruh-waktu di Pascasarjana ISI Yogyakarta, ISI Surakarta dan PSPSR Universitas Gadjah Mada.
  3. Bambang Sugiharto, “Pengantar,” Untuk Apa Seni? Bandung: Matahari, 2013, hal. 9.
  4. Harari’s 10 Rules,” Yuval Noah Harari 2020.
  5. Indy Subandy Ibrahim, “Etos Bangsa: Analisis Budaya,” Kompas, 26 September 2020, hal, 15.
Aseti Magz Edisi April 22

KREATIVITAS SENI RAMPAK BEDUG

Dengan adanya Peraturan Gubernur Nomor 15 Tahun 2014 tentang Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal (Mulok) Seni Budaya Banten Bagi Pendidikan Menengah

Baca »
Aseti Magz Edisi April 22

RAKERDA

DPD Aseti Prov. Banten dalam perjalanannya terus berbenah dan bersinergi dengan pihak-pihak terkait lainnya, hal ini dilakukan untuk menemukan bentuk

Baca »
No more to show