Kalau kita nge-klik Google, mencari asosiasi tari Indonesia, yang muncul antara lain ASETI dan ASeTI. Keduanya, menunjuk hal yang sama, yaitu Asosiasi Seniman Tari Indonesia. Karena ASETI bukan singkatan, tapi akronim, maka dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI), mestinya penulisannya demikian: Aseti. Mengapa ditulis dengan huruf kapital semuanya, belum ada penjelasan. Karena itu, untuk keperluan mendekatkan asosiasi ini kepada sidang pembaca, dan supaya tulisan kecil ini tidak melakukan “pelanggaran” tata penulisan, apalagi di bulan suci Ramadan maka izinkan saya menuliskan Aseti sesuai kaidah akronim.
Aseti merupakan satu organisasi profesi yang diharapkan mampu memajukan dan memperjuangkan hak-hak anggotanya dalam berkesenian. Dengan misi, salah satunya adalah mendorong kebijakan (pemerintah) yang akan berpihak kepada seniman tari yang akan berpengaruh terhadap kesejahteraan seniman tari Indonesia. Berkompeten dan berdaya saing global. Semoga saja tidak hanya penari dan penata tarinya saja yang disejahterakan, melainkan juga para pelaku yang memungkinkan penari dan penata tari itu berkarya: penata kostum, penata cahaya, penata panggung, pengrawit, dan lainnya juga ikut di perjuangkan kesejahteraannya oleh Aseti.
Wadah ini, bisa disebut hal baru dalam konteks sejarah tari dan lembaga tari di Tanah Air. Memang selama ini sudah menjamur wadah-wadah tari di berbagai daerah di negeri ini. Namun biasanya untuk kelompok tari tradisi atau kelompok tari modern dan kontemporer tertentu, baik berbasis kesukuan, atau jenis tari tertentu, atau daerah/provinsi tertentu. Sifatnya tidak menasional, meskipun ranah kegiatan mereka menjangkau ranah lokal, nasional, hingga internasional. Dan yang diperjuangkannya pun terbatas kepentingan kelompok, kepentingan tari tertentu, atau kepentingan daerah tertentu. Sedangkan Aset jangkauan ranahnya Indonesia. Cita-citanya ingin merangkul seniman tari dari Sabang – Jakarta – sampai Merauke, apa pun latar belakang suku, pendidikan, maupun jenis tari yang gelutinya. Jika dilihat dari sini maka dapat dipahami bahwa Aseti ini bukan tujuan, melainkan “jembatan” menuju wahana ekspresi, kesejahteraan, hingga keindonesiaan berbasis tari, di tengah globalisasi era revolusi industri 4.0, dan seterusnya
Tapi sebaiknya jangan buru-buru membandingkan Aseti dengan dancer association di negara-negara maju, yang telah mapan, baik di Asia, Eropa hingga Amerika Serikat yang telah mempunyai pengalaman dan sejarah panjang. Sebab mendadak Aseti akan terasa “ketinggalan”. Hal yang patut kita lakukan adalah memberi kesempatan Aseti tumbuh dan berkembang, sebagai kabar gembira, sambil kita bisa ikut memberi dukungan secara kritis.