Timur Barat dalam Tomorrow as Purepossed
Layar panggung merambat naik, diikuti cahaya redup, pelan, dan semakin terang, menyorot sosok tubuh berbalut kostum merah bagaikan boneka Jepang Kokeshi. Sorot mata misterius, menatap ke seluruh arah, dan berhenti pada satu titik yang jauh, mengajak flash back ke suatu masa yang berselimut dengan mistis.
Suasana pun tersihir masuk dalam dimensi abad pertengahan yang penuh represif, pengkhianatan, cinta, dan kekuatan supranatural dalam mantra musik olahan Naoki Iwata Aka, yang berbarengan dengan gestur penari (kokeshi) yang sangat simbolik, berbalik ke arah belakang panggung dan kepala menengok ke arah kiri sayap panggung, mengantar kemunculan lima penari dengan gerak pelan, penuh tenaga, merepresentasi kekelaman masa. Hal tersebut semakin diperkuat dengan berjatuhannya paku-paku tajam dari tubuh penari, yang tersimpan rapi dalam stocking pada pola lantai horisontal. Paku tidak sekedar menjadi musik internal, tapi juga simbol kekuatan gaib, dan penghancuran dari dalam.
Peletakan boneka kokeshi pun tidak sekedar mengaitkan kehadiran komponis Jepang dalam pengolahan karya Melati Suryodarmo ini, melainkan sisi terdekat dan merekatkan kedua ikon ini adalah aspek kesejarahan boneka kokeshi, yang secara filosofis merupakan boneka kayu yang mengandung esensi spiritual kematian dan kehormatan, sebelum masyarakat Jepang kini, mengadopsinya sebagai cinderamata yang lucu dan menggemaskan.
Melati Suryodarmo mengangkat karya dari narasi penyihir “Tomorrow as Purposed” dalam lakon Machbet karya Shakespeare yang menghubungkan kembali antara kekuasaan dan dunia supranatural. Selain menjadi salah satu ciri dari karya Melati Suryodarmo dalam dua tahap IDF (2014 dan 2016), melati juga merefleksikan Lady Machbet (mantan istri Duncan) yang membujuk Machbet untuk membunuh Duncan, sang Raja, dan mengambil alih tahtanya. Adegan ini kemudian seolah menggiring penonton melihat kisah Ken Dedes dan Ken Arok dalam Tomorrow as Purepossed.
Kreativitas Melati Suryodarmo dalam melihat kekuatan aktor wajib diacungi jempol. Karya ini kaya dalam sisi performing arts: teaterawan, kelompok paduan suara, penari, komponis, dan perupa. Unsur penari, teaterawan, perupa, bukanlah hal yang baru dalam performing arts, akan tetapi kemunculan kelompok paduan suara yang kemudian disulap oleh Melati Suryodarmo menjadi penguat dalam karyanya, mendorong pendominasian panggung di menit-menit pertengahan dan akhir panggung, menjadi sebuah kejutan. Mereka tidak sekadar diletakkan sebagai latar dalam karya ini, akan tetapi perannya sebagai masyarakat dalam abad pertengahan, yang memilih menjadi pengikut Machbet, dan sebahagian lainnya tetap setia menjadi pengikut putra Duncan dari istrinya (Lady Machbet), yang memberontak dan berniat merebut kejayaan sang Ayah kembali. Tubuh mereka tidak dipaksa menjadi kurus, menjadi proporsional, bahkan menjadi lentur. Apa yang terjadi adalah kekuatan tubuh dengan segala plus-minus-nya merepresentasikan ikon-ikon masyarakat abad pertengahan Eropa, dan diinterpretasi dalam tubuh masing-masing, terutama ketika memainkan berbagai macam properti, di antaranya kursi, tudung, parang, dan tungku tanah.
Dari awal sampai akhir cerita, penonton dituntun untuk melihat dimensi lain dari karya Melati Suryodarmo, yang berbeda dalam ide dan gagasan-gagasan teknis dalam karyanya. Secara tekstual, tubuh penari disadarkan akan konsep performing arts, yang harus berada dalam konteks kini, dan di sini. Hal ini tampak sangat jelas pada penggunaan properti: paku, tungku tanah, kursi, dan tudung kepala.
Properti dibiarkan bersinergis dengan tubuh. Secara natural tubuh dikehendaki merasakan efek-efek dari properti tersebut. Salah satu contohnya adalah paku yang diletakkan dalam celana stocking penari, dan penari harus merasakan bagaimana berjalan dengan paku dalam celana stocking pada durasi yang ditentukan. Secara teknis hal ini bisa membangun ketercapaian segala unsur dari pertunjukan, yakni efek natural seperti peristiwa sesungguhnya, dalam olahan imajinasi, dan di sisi lain, bahwa luka, cedera, dan apa pun akibat dari penggunaan properti tersebut adalah bagian yang tak terpisahkan, bahkan menjadi ketercapaian dan keberhasilan yang sesungguhnya dalam konsep performing arts yang dipahami Melati Suryodarmo.
Demikian halnya dalam penggunaan tungku (simbol kehidupan/harapan), yang digiring dan diletakkan satu persatu di atas pangkuan seorang penari yang duduk pada kursi (simbol penguasa). Secara tidak langsung sang penari-penguasa dibiarkan merasakan beratnya beban tungku tersebut yang berkisar 20 buah di atas pangkuan. Secara kontekstual mengisyaratkan bahwa, menjadi raja bukanlah sekedar berkuasa dan memerintah, melainkan juga merupakan harapan dan keberlangsungan hidup rakyat berada pada kebajikan dan kebijakan penguasa. Pecahnya tungku dalam masyarakat Nusantara, bermakna berakhirnya kehidupan, kekuasaan, dan sekaligus menjadi ending dalam pertunjukan “Tomorrow, as Purpossed”.
Dalam realitas kekinian, “Tommorrow, as Purposed” menjadi gambaran dari fenomena sebahagian masyarakat Indonesia yang digitalism, dan konon katanya lahir di Timur dan besar di Barat, tapi toh tetap mempercayai bahwa uang yang merupakan kata lain dari kekuasaan atau sebaliknya, adalah hal yang bisa didatangkan dalam waktu singkat, dan lebih pragmatis lagi bubuk syurga, diiming-iming sebagai sinyal penyambung, menuju Yang Kuasa. Apakah Timur dan Barat masih dipertentangkan? Melati Suryodarmo mengupas tuntas dalam karyanya. Akhirnya salut dan hormat kepada Melati Suryodarmo dan tim.