Menyorot Tari dalam Balutan Alam dan Panggung: Catatan Tercecer IDF 2016

ndonesian Dance Festival (IDF) yang berlangsung pada 1-5 November 2016 digelar pada lima venue yakni Teater Jakarta, Graha Bhakti Budaya, dan Teater Kecil di Taman Ismail Marzuki (TIM) serta di Teater Luwes, Institut Kesenian Jakarta dan Gedung Kesenian Jakarta. IDF pada tahun 2016 tersebut memasuki tahun ke-24 dan diisi dengan berbagai mata acara, di antaranya Pre-Opening pada 30 Oktober 2016 di Hutan Sangga Buana Kali Pesanggrahan, Lebak Bulus, Jakarta Selatan, yang menampilkan pertunjukan tari karya Jefriandi Usman dan teater-tari karya Abdullah Wong. Kemudian pada acara pembukaan festival menampilkan karya Melati Suryodarmo di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki-TIM.

Timur Barat dalam Tomorrow as Purepossed

            Layar panggung merambat naik, diikuti cahaya redup, pelan, dan semakin terang, menyorot sosok  tubuh berbalut kostum merah bagaikan boneka Jepang Kokeshi. Sorot mata misterius, menatap ke seluruh arah, dan berhenti pada satu titik yang jauh, mengajak flash back  ke suatu masa yang  berselimut dengan mistis.

            Suasana pun tersihir masuk dalam dimensi abad pertengahan yang penuh represif, pengkhianatan, cinta, dan kekuatan supranatural dalam mantra musik olahan Naoki Iwata Aka,  yang berbarengan dengan gestur penari (kokeshi) yang sangat simbolik, berbalik ke arah belakang panggung dan kepala menengok ke arah kiri sayap panggung, mengantar kemunculan lima penari dengan gerak pelan, penuh tenaga, merepresentasi kekelaman masa. Hal tersebut semakin diperkuat dengan berjatuhannya paku-paku tajam dari tubuh penari, yang tersimpan rapi dalam stocking pada pola lantai horisontal. Paku tidak sekedar menjadi musik internal, tapi juga simbol kekuatan gaib, dan penghancuran dari dalam.

            Peletakan boneka kokeshi pun tidak sekedar mengaitkan kehadiran komponis Jepang dalam pengolahan karya Melati Suryodarmo ini, melainkan sisi terdekat dan merekatkan kedua ikon ini adalah aspek  kesejarahan  boneka kokeshi, yang secara filosofis merupakan boneka kayu yang mengandung esensi spiritual kematian dan kehormatan, sebelum masyarakat Jepang kini, mengadopsinya sebagai cinderamata yang lucu dan menggemaskan.

            Melati Suryodarmo mengangkat karya dari narasi penyihir “Tomorrow as Purposed” dalam lakon Machbet karya Shakespeare yang menghubungkan kembali antara  kekuasaan dan dunia supranatural. Selain menjadi salah satu ciri dari karya Melati Suryodarmo dalam dua tahap IDF (2014 dan 2016),  melati juga merefleksikan Lady Machbet (mantan istri Duncan) yang membujuk Machbet untuk membunuh Duncan, sang Raja, dan mengambil alih tahtanya. Adegan ini kemudian seolah menggiring penonton melihat kisah Ken Dedes dan Ken Arok dalam Tomorrow as Purepossed.

            Kreativitas Melati Suryodarmo dalam melihat kekuatan aktor wajib diacungi jempol. Karya ini kaya dalam sisi performing arts: teaterawan, kelompok paduan suara, penari, komponis, dan perupa. Unsur penari, teaterawan, perupa, bukanlah hal yang baru dalam performing arts, akan tetapi kemunculan kelompok paduan suara yang kemudian disulap oleh Melati Suryodarmo  menjadi penguat dalam karyanya, mendorong pendominasian panggung di menit-menit pertengahan dan akhir panggung, menjadi sebuah kejutan. Mereka tidak sekadar diletakkan sebagai latar dalam karya ini, akan tetapi perannya  sebagai masyarakat dalam abad pertengahan, yang memilih menjadi pengikut Machbet, dan sebahagian lainnya tetap setia menjadi pengikut putra Duncan dari istrinya (Lady Machbet), yang  memberontak dan berniat merebut kejayaan sang Ayah kembali. Tubuh mereka tidak dipaksa menjadi kurus, menjadi proporsional, bahkan menjadi lentur. Apa yang terjadi adalah kekuatan tubuh dengan segala plus-minus-nya merepresentasikan ikon-ikon masyarakat abad pertengahan Eropa, dan diinterpretasi dalam tubuh masing-masing, terutama ketika memainkan berbagai macam properti, di antaranya kursi, tudung, parang, dan tungku tanah.

            Dari awal sampai akhir cerita, penonton dituntun untuk melihat dimensi lain dari karya Melati Suryodarmo, yang berbeda dalam ide dan gagasan-gagasan teknis dalam karyanya. Secara tekstual, tubuh penari disadarkan akan konsep performing arts, yang harus berada dalam konteks  kini, dan di sini. Hal ini tampak sangat jelas pada penggunaan properti: paku, tungku tanah, kursi, dan tudung kepala.

            Properti dibiarkan bersinergis dengan tubuh. Secara natural tubuh dikehendaki merasakan efek-efek dari properti tersebut. Salah satu contohnya adalah paku yang diletakkan dalam celana stocking penari, dan penari harus merasakan bagaimana berjalan dengan paku dalam celana stocking pada durasi yang ditentukan. Secara teknis hal ini bisa membangun ketercapaian segala unsur dari pertunjukan, yakni efek natural seperti peristiwa sesungguhnya, dalam olahan imajinasi, dan di sisi lain, bahwa luka, cedera, dan apa pun akibat dari penggunaan properti tersebut adalah bagian yang tak terpisahkan, bahkan menjadi ketercapaian dan keberhasilan yang sesungguhnya dalam konsep performing arts yang dipahami Melati Suryodarmo.

            Demikian halnya dalam penggunaan tungku (simbol kehidupan/harapan), yang digiring dan diletakkan satu persatu di atas pangkuan seorang penari yang duduk pada kursi (simbol penguasa). Secara tidak langsung sang penari-penguasa dibiarkan merasakan beratnya beban tungku  tersebut yang berkisar 20 buah di atas pangkuan. Secara kontekstual mengisyaratkan bahwa, menjadi raja bukanlah sekedar berkuasa dan  memerintah, melainkan juga merupakan  harapan dan keberlangsungan hidup rakyat berada pada kebajikan dan kebijakan penguasa. Pecahnya tungku dalam masyarakat Nusantara, bermakna berakhirnya kehidupan, kekuasaan, dan sekaligus menjadi ending dalam pertunjukan “Tomorrow, as Purpossed”.

Dalam realitas kekinian, “Tommorrow, as Purposed” menjadi gambaran dari fenomena sebahagian masyarakat Indonesia  yang digitalism, dan konon katanya  lahir di Timur dan besar di Barat, tapi toh tetap mempercayai bahwa uang yang merupakan kata lain dari kekuasaan atau sebaliknya, adalah hal yang bisa didatangkan dalam waktu singkat, dan lebih pragmatis lagi bubuk syurga, diiming-iming sebagai sinyal penyambung, menuju  Yang Kuasa. Apakah Timur dan Barat masih dipertentangkan? Melati Suryodarmo mengupas tuntas dalam karyanya. Akhirnya salut dan hormat kepada Melati Suryodarmo dan tim.

Aseti Magz Edisi April 22

SATU DASA WARSA FESTIVAL TO BERRU

Perdagangan rempah sejak masa lampau terbukti telah menggerakkan sejarah dan kebudayaan. Keberadaannya tidak hanya sebagai komoditi dagang, tetapi juga membangun

Baca »
Aseti Magz Edisi April 22

TARI LULO ANAWAI

Saat ini tarian Lulo biasa ditampilkan untuk memeriahkan acara pernikahan, kenduri, ulang tahun dan acara acara kebahagiaan lainnya untuk menghibur

Baca »
No more to show