
Di hari ke 21 bulan Januari 2022 lalu, Kumpulan Pak Pong Medan menyatakan konsistensinya terhadap perawatan seni tradisi Melayu dengan menggelar pertunjukan “MasMerah”, di Taman Budaya Sumatera Utara Jalan Gatot Subroto Medan. Sesungguhnya perhelatan itu sajian metafora bagi eksistensi Ronggeng Melayu yang semakin terdesak ruangnya oleh ruang sosial baru yang selalu berubah-ubah. Bagi Pak Pong Medan, itu bagian dari upaya revitalisasi Ronggeng Melayu yang sudah dilakukan selama 5 tahun.
Salah satu langkah awal Pak Pong Medan ketika melakukan revitalisasi adalah melakukan pertunjukan bulanan. Pertunjukan itu kemudian terhenti karena pandemi. Maka pertunjukan yang diberi judul Mas Merah, menjadi pemicu kerinduan para praktisi Melayu untuk bergabung berkolaborasi. Mereka datang dari Tanjung Balai, Kabupaten Batubara, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Langkat dan Kota Medan bersatu menguatkan gagasannya. Seperti menyatakan kegelisahan dan geliat yang selama ini terbendung oleh rupa-rupa masalah. Dengan segala peruntungan dan keberuntungan, Pak Pong Medan melepas Mas Merah di tengah guyuran hujan yang membasahi bagian depan open stage Taman Budaya Sumatera utara.
Legenda Mas Merah adalah cerita dari Pulau Kampai Kabupaten Langkat yang berbatasan dengan Aceh Tamiang. Cerita Romeo and Julietnya Melayu itu dikemas dengan bahan baku ronggeng Melayu. Kemasan ini semakin menegaskan bahwa sesungguhnya Pak Pong Medan semakin tak bergeming sedikitpun untuk merevitalisasi Ronggeng Melayu di tengah kepedulian terhadap kearifan lokal yang belum bertambah baik.
Kegiatan revitalisasi kesenian ronggeng Melayu, diilhami dari penelitian tentang ronggeng Melayu yang dilakukan oleh tim dari Universitas Malaya, Kuala Lumpur (Malaysia), yang dipimpin oleh Prof. Dr. Mohd Anis Md. Nor bersama Dr. Lawrence Ross, Dr. Premalata Tiagarajan, Sofia, Ahsan, Said dan lain-lain. Penelitian itu juga melibatkan etnomusikolog Rizaldi Siagian, ke berbagai tempat di Sumatera Utara, meliputi Langkat, Binjai, Medan, Deli Serdang, dan Serdang Bedagai. Kegiatan ini adalah kelanjutan dari kegiatan penelitian yang telah dilakukan oleh Prof. Anis, dkk. di kawasan utara semenanjung Malaysia, dan selatan Thailand, selama dua tahun dari 2013 sampai 2014.
Ronggeng Melayu pernah tumbuh subur di Semenanjung Malaysia, Selatan Thailand dan di Sumatera Timur. Itu yang menjadi pertimbangan penelitian diarahkan ketiga kawasan semenanjung tersebut. Di Sumatera Timur ronggeng adalah seni yang sangat kompleks karena memiliki tiga unsur seni yang berkelindan satu sama lainnya dalam satu penyajian. Unsur seni sastra lewat pantun-pantunnya yang terdiri dari empat baris dan diucapkan secara spontan sambil menari, sedangkan unsur seni musik lewat alat musik dan lagu-lagu yang dimainkannya. Unsur seni tari dimunculkan lewat gerakan badan, tangan dan kaki melalui gaya menandak peronggeng yang mengikuti pola ritme rentaknya.
Dalam seni Ronggeng dikenal beberapa tempo/ritme musik, seperti senandung, mak inang, lagu dua, pulau sari dan patam-patam. Tempo/ritme senandung adalah lagu Sri Banang, Sri Tamiang, Sri Siantan, Sri Kedah, Sri Mersing, Sri Asahan, Sri Taman, Patah Hati, Mas Merah, Damak, Siti Payung, Serunai Aceh, Burung Putih, Laksmana Jalak Lenteng, Anak Tiung, Damak dan lain-lain. Lagu-lagu yang bertempo/ritme Mak Inang adalah Mak Setanggi, Mak Inang Pulau Kampai, Mak Kayangan, Mak Inang Pak Malau, Mak Inang Juara, Mak Inang Kampung, Sri Langkat, Cek Minang Sayang, Pulau Putri dan lain-lain. Sedangkan yang bertempo/ritme lagu dua atau dikenal dengan irama tandak antara lain Pulau Sari, Hitam Manis, Tanjung Katung, Serampang Laut, Asam Kana, Anak Kala, Pancang Jermal, Pantun Lama, Air Pasang, Bercerai Kasih, Sempaya dan lain-lain.
Pantun spontan menyentuh sendi-sendi kehidupan masyarakat. Ulasannya dapat meluas bebas memberi asupan rohani yang kerap melahirkan spirit social dan moral. Hal itu menjadikan Ronggeng Melayu berbeda dengan ronggeng di tempat lain. Pantun menjadi medium masyarakat dalam mengungkap seluruh ide dan gagasan kehidupan dunia Melayu. Seperti katarsis untuk menjaga daya hidup masyarakat Melayu. Daya yang menguatkan seluruh jiwa raganya untuk mewujudkan impian dan harapan serta gagasan dan pemikiran. Tanpa itu daya hidup kesenian dan rmasyarakatnya lemah dan mati.
Berbalas pantun spontan dibingkai secara melodis merupakan substansi paling dasar dalam ronggeng Melayu. Ia didasari dari tradisi berpantun yang sudah berabad-abad dimiliki masyarakat Melayu.
Dalam ruang social dan kultural yang begitu kompleks di Sumatera Timur, Ronggeng Melayu justru menjadi sarana perekat antar etnik dan kebudayaan untuk saling berinteraksi dan bersosialisasi. Ia tumbuh menjadi satu bentuk kesenian yang hybrid, kesenian multikultural. Tak hanya dalam pantun, tapi juga alat musik terjadi akulturasi, misalnya penggunaan biola dan arkodion dari Portugis. Atau gendang yang masih menimbulkan silang pendapat, apakah dari Arab atau India.
Kesenian hybrid itu dilatarbelakangi oleh sejarah tanah Deli yang memiliki hasil melimpah. Mengundang berbagai suku bangsa menanam tembakau, karet, benang nanas, kelapa sawit dan berbagai tanaman lain yang dapat dijadikan komoditas perdagangan yang menguntungkan. Orang mulai ramai ke Deli mengadu keberuntungan. Tidak hanya saudagar-saudagar dari belahan nusantara seperti Minangkabau, Tapanuli, Banjar, Jawa, tetapi juga bangsa Asia, Arab, maupun Eropa dan Amerika. Akhirnya masyarakat Melayu sepanjang pantai timur menerima citra-citra kebudayaan dari berbagai bangsa dan zaman. Identitas mereka begitu melekat dan memberi peran yang cukup besar terhadap dinamika kebudayaan dan bentuk-bentuk kesenian.
Berbeda dengan ronggeng Melayu di kawasan selatan yang masih terawat dan terpelihara dan diangkat oleh pemerintahnya, ronggeng Melayu di bagian Timur (Sumatera Utara) seperti hidup segan mati tak mau. Ziarah batin yang dilakukan Prof. Mohamad Anis dari Universitas Malaya ke Sumatera Utara pada tahun 2014 menemukan air mata, bukan mata air peradaban Melayu. Ternyata, sejak 1980-an ruang ekspresi ronggeng Melayu di Medan khususnya, di jantung pertumbuhannya, makin sempit dan nyaris tak berdenyut digerus arus yang rakus dan abai terhadap hak hidup kesenian rakyat. Mereka kerap terusir dari tempat mainnya sendiri. Tempat mereka mewarisi peradaban leluhurnya. Mulai dari Jalan Bintang ditahun (1967 -1970), Jalan Salak 1970-1980), Taman daerah pinggiran Sungai Deli (1978-1990), Jalan Rakyat (1982 1990), Kemudian pindah di Tanjung Mulia, Secanang Belawan, Tuntungan, dan kemudian lenyap perlahan-lahan antara tahun 80-an sampai 90-an. Ruang-ruang pewarisnya habis. Bahkan Gedung Kesenian Jalan Bali, tempat aktivitas kesenian yang paling megah di Medan tahun 1950-an, itupun lenyap sampai kini tanpa pengganti. Seorang Tatan Daniel menyebut “Kota tumbuh tanpa akar peradaban. Orang-orang tumbuh dengan amnesia yang parah. Tanpa sejarah. Masa lalu terbenam di lumpur busuk sungai Deli. Kota yang dibesarkan tembakau dan karet ini, Cuma sibuk berdandan bagai pelacur tua yang menyembunyikan asal usulnya”.
Ketika itu, seakan tak ada tempat bagi ronggeng Melayu di Medan. Ruang-ruangnya telah diisi oleh bentuk seni yang lain. Di pelosok manapun, rutinitasnya punah. Hampir tidak ada lagi yang memainkan seni ronggeng Melayu. Para senimannya, satu-satu meninggal tanpa tercatat. Mereka seperti lenyap di tengah hiruk pikuk kota dagang. Pemerintah kota juga tak pernah peduli. Situasi itu berkelindan dengan revolusi perangkat musik dengan teknologi, televisi, arus budaya luar, hegemoni rezim yang merontokkan tradisi dan kesenian yang tidak membuka ruang bagi pengajaran seni tradisi. Yang ada kelompok seni Melayu dengan pantun hapalan yang dinyanyikan untuk menghibur orang makan. Kecerdasan berinteraktifnya hilang karena daya hidupnya dikebiri. Intelektualnya tak dipahami.
Bertolak dari keprihatinan ikhwal nasib ronggeng Melayu tersebut, sejumlah seniman Jakarta (2015) dan Medan (2017) melahirkan sebuah gerakan ‘perlawanan’ budaya lewat revitalisasi. “Revitalisasi ronggeng Melayu, tidak semata meniupkan daya hidup bagi seni tradisi-kerakyatan ini, tapi juga mengembangkan ideologi sebagai landasan pergerakan, sehingga revitalisasi tidak dipahami sebagai kerja menggosok-gosok lampu Aladin, warisan tua yang di dalamnya bermukim jin yang bisa menyajikan apa saja. Inisiatif untuk merevitalisasikesenian rakyat Melayu yang sudah hampir punah itu kemudian digagas di Anjungan Sumatera Utara, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Disepakati, revitalisasi seni pertunjukan Ronggeng Melayu tersebut dimaksudkan untuk memberikan semangat baru, vitalitas baru, pemikiran-pemikiran baru, terhadap kesenian ronggeng Melayu yang sempat berbagi warna antar sesama seni pertunjukan rakyat di kawasan Selat Melaka yang telah melintasi sejarah panjang. Sebagai sebuah kesenian tradisi, ronggeng Melayu sesungguhnya menjadi identitas dan akar budaya masyarakat Melayu, karena itu penting dirawat agar mata air peradaban orang Melayu tidak kering.
Demikian pula di Medan. Kumpulan Pak Pong Medan terus begerilya sampai saat pertunjukan tanggal 21 januari yang lalu. Namun apabila kondisinya semakin baik, mereka tetap mengadakan pertunjukan bulanan yang mereka biaya sendiri sebagaimana dua tahun yang sudah mereka lakukan sebelum pandemi. Adapun kegiatan mendedah sejarah kesenian ronggeng Melayu, pengenalan kembali ratusan repertoar musik dan lagu-lagu ronggeng yang pernah dimainkan, mempelajari dan menampilkan bentuk tarian rakyat yang kerap ditampilkan dalam arena ronggeng, serta yang terpenting menghidupkan kembali seni berpantun, yang menjadi ciri utama dan nafas kesenian ronggeng Melayu. Bahwa merawat tradisi adalah pilihan di jalan sunyi. Selamat berjuang Kumpulan Pak Pong Medan.
Medan, 23 Januari 2022.
Retno Ayumi