Tari Pakarena adalah karya seni tradisi masyarakat Makassar yang menjadi ruang hidup diatara mitos dan realita. Pakarena menjadi gambaran kekuatan nilai, perjalanan waktu, sifat dan jati diri, jiwa yang melekat terekspresi dalam ketekunan, kesabaran, keterampilan, persahabatan, keterampilan, sekaligus gejolak dan ketenangan .
Keberlangsungan hidup tari Pakarena niscaya dapat diyakini bahwa hanya dapat terjadi ketika terus-menerus berkembang di sumbu kreativitas berbasis kebudayaan. Berbagai perubahan struktur serta fungsi dalam proses adaptasi akan bersesuai dengan temuan inovasi zamannya, pengendaliannya tentu sangat berkaitan erat dengan kuatnya kesadaran para pemangku kepetingan bahwa perubahan-perubahan tersebut tidak boleh sampai meninggalkan ciri khasnya.
Orang-orang Makassar dimasa lampau menyebut tari dengan istilah Sere dan Jaga berarti mondar-mandir, kesana kemari, kian kemari tanpa tentu arah. Sere atau Jaga ini dilakukan oleh orang-orang Makassar pada jaman dulu dalam upacara-upacara suci yang menyangkut kepercayaan lama suku Makassar yang mereka sebut Sumanga atau kepercayaan terhadap Dewata Seuwae, yaitu dewa yang tunggal (Wiwik: 1992: 154). Mitos Pakarena berkaitan erat dengan keberadaannya sebagai perangkat kebesaran Tu Manurung ( dewi dari kayangan-pen ) yang disimbolkan sebagai perempuan yang sangat cantik dan bijaksana. Kebijaksanaannya kemudian dijadikan dasar perilaku kepemimpinan masyarakat Makassar ( Syahrir: 2014: 2 )
Sere Jaga yang berarti waspada atau sadar tidak tidur semalam suntuk adalah sarana dalam upacara ritual suku Makassar. Kemudian berubah nama menjadi Pakarena atau akkarena yang berarti bermain, permainan atau pertunjukan Awalan kata Pak menunjukkan pelaku permainan yaitu pemain atau seniman atau penampil ( Latief: 2004.10). Pakarena berfungsi sebagai pelengkap upacara penobatan raja, accera kalompoang ( pembersihan pusaka kerajaan), upacara daur hidup raja dan keluarganya. Perubahan nama ini dilakukan karena Sere Jaga dianggap keramat untuk disebutkan pada sembarang waktu dan tempat. Pakerena yang semula perangkat milik istana kemudian berkembang menjadi milik Anrongguru ( ahli Pakarena ) yang penghadirannya disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat pendukungnya. ( Sumiani: 2004:114)
Dari beberapa sumber yang sempat dihimpun ( penulis ) diketahui bahwa sebagai tari Pakarena dikenal dalam belasan judul antara lain:
- Pakarena Samboritta ( persahabatan ) khas Takalar yang menggambarkan tata cara pergaulan.
- Pakarena Angingka Maklino ( angin sepoi-sepoi ) menggambarkan bagaimana bersikap ketika suatu waktu keadaan mendadak vakum. Anging kamalino atau ragam Ma’sulapa appa atau empat arah mata angin. Hal ini berkaitan dengan konsep Sulapa Appa yang berkaitan dengan pamahaman kekuatan Sumanga atau sukma yang melukiskan sifat manusia sebagai sifat air, api, angin, dan tanah.
- Pakarena Lambasari ( kekecewaan dan keputusasaan )
- Pakarena Bisei ri Lau ( mendayung ke arah timur ) menggambarkan bagaimana sikap manusia menyingsong ke arah timur dimana matahari terbit sebagai simbol semangat hidup.
- Pakarena Mabbiringkassi ( bermain di pantai ) menggambarkan bagaimana kegembiraan bermain di pantai.
- Pakarena Kontui Kassi Jaina ( ibarat pasir yang banyak ) menggambarkan bagaimana kehidupan dan rejeki serta masalahnya yang banyak.
- Pakarena Dalle Tabbua ( sabar menanti nasib ) menggambarkan bagaimana memohon rejeki yang berlimpah ruah.
- Pakarena Anni-anni ( menenun-memintal benang ) menggambarkan bagaimana kesabaran akhirnya selalu mendatangkan hasil.
- Pakarena Sanrobeja ( dukun beranak ) menggambarkan bagaimana tata cara merawat dan mempercantik diri agar disenangi suami.
- Pakarena Dendang/Nigandang ( berulang-ulang ) menggambarkan bagaimana permohonan restu dari Tuhan Yang Maha Esa yang dilakukan berulan-ulang sebelum tiang-tiang rumah didirikan.
- Pakarena Iyolle ( persembahan ) menggambarkan bagaimana pemujaan ketika bulan purnama dilakukan pesta bermandi-mandi di bulan Syafar.
- Pakarena Soknayya ( mimpi/ menghayal ) menggambarkan bagaimana peringatan pada manusia agar jangan hanya bemimpi dan menghayal.
- Pakarena Hae /Pakarena Hayo ( berbicara tanpa ditanya ) menggambarkan bagaimana menjaga sikap agar tidak memberi keterangan kepada orang yang leboh tua atau yang lebih pintar tanpa mereka menanyakannya.
- Pakarena Lekokboddong ( bulat sempurna ) menggambarkan bagaimana sesungguhnya hidup ini adalah siklus yang akan silih berganti
- Pakarena Jangang Leya-Leya ( ayam yang mengepakkan sayapnya pada dini hari ) menggambarkan bagaimana sindirian kepada orang yang malas bekerja, suka bermalas-malasan dan takut berperang. Baru bangkit jika mendapatkan tekanan yang kuat.
Selain itu masih ada sejumlah jenis Pakarena yang belum lengkap diidentifikasi dan hanya diberi penamaan sesuai dengan nama tempat atau desa tempat tarian itu berkembang misalnya Pakarena Bulutana ( kabupaten Jeneponto ), Pakarena Ballabulo ( kabupaten Selayar ), Pakarena Gantarang ( Kabupaten Bantaeng ) serta Pakarena Bonerate (kabupaten Selayar ).
Adapun Tari Pakarena yang dimainkan oleh laki-laki yaitu Pakarena Burakne, Pakarena Barangang dan Pakarena Canggolong-golong.
Dalam proses pewarisan tari Pakarena juga disertai dengan tafsir baru yang berbeda-beda, pengembangannya disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan Anrongguru. Namun demikian tampilannya tetap menunjukkan kesamaan. Tari Pakerena dalam tampilannya selalu menjunjung tinggi kesopanan, kesantunan sehingga gerakannya sangat terjaga dan terukur. Saat ditarikan, gerakan penarinya lembut gemulai mencerminkan gerak-gerik khas wanita Makassar yang senantiasa sabar, menjaga sikap, setia, percaya diri, pandangan mata hingga tutur katanya. Itulah ‘ruh’ budaya tarian ini yang dijaga turun temurun.