TEATER TARI “PASSIAJINGENG” DI GREEN STAGE PULAU DUTUNGAN

Perdagangan rempah sejak masa lampau terbukti telah menggerakkan sejarah dan kebudayaan. Keberadaannya tidak hanya sebagai komoditi dagang, tetapi juga membangun pergaulan budaya antar bangsa dari berbagai masyarakat di dunia.
Rempah tidak hanya sekedar bumbu masak tapi juga diyakini memiliki khasiat sebagai obat, pengawet, pemantik aroma, bahan pewarna, bahkan diyakini memiliki kekuatan magis, hingga selalu menjadi bagian perlengkapan upacara adat dan atau keagamaan.
Keberadaan rempah di jalur rempah telah membuka ruang pertemuan antar manusia, lintas bangsa, sekaligus sarana pertukaran, perdagangan komoditas dagang dan membangun pemahaman antar budaya yang mempertemukan berbagai ide, konsep, gagasan, hingga pengenalan identitas. Belakangan ini “Jalur Rempah” tersebut dihidupkan lagi secara serius dengan langkah strategis sebagai sebagai jalur ekonomi hingga pendorong budaya kreatif, inovatif.
Pelabuhan Tanete, Barru, menjadi salah satu pelabuhan persinggahan yang ramai dalam jalur perdagangan rempah masa lampau. Pelabuhan rakyat ini di ramaikan oleh pedagang antar bangsa. Tanete adalah salah satu kerajaan Bugis yang mempunyai kedudukan penting dari segi politik di pesisir Barat Sulawesi Selatan. Semasa pemerintahan Raja Tanete ke-4, Daeng Ngasseng pada abad 16, Tanete telah memainkan peran dalam kehidupan perekonomian multinasional.
Latar ini pula yang menjadi pemantik inspirasi lahirnya karya teater Tari “Passiajingeng” yang dipersembahkan pada Festival to Berru yang tahun 2021 memasuki usia satu dasawarsa.
Passiajingeng, adalah upaya merajut narasi pertautan multikultur dimasa pemerintahan Petta To Sugi’e, bangsawan Tanete yang tercatat sebagai orang pertama yang menghubungkan kekerabatan Bugis Barru dan Melayu. Pada tahun 1600an itu Petta To Sugi’e menikahi Puteri Johor. Keturunan dari Petta To Sugi’e dan Puteri Johor kemudian melahirkan generasi yang menjadi generasi berdarah Bugis Melayu di Kabupaten Barru dan diasporanya.
***