SEJARAH DAN RAGAM TARI TOPENG BETAWI

Cendol Ijo punya Kang Aji…
Mak sama Baba…
di Ragam Gerak Tari Topeng Betawi

“Nandak” berasal dari kata tandak (tan∙dak) sebuah kata nomina yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti tari ronggeng atau seorang penari ronggeng serta dalam kata kerja “menandak” yang berarti menari. Nandak digunakan oleh kebanyakan orang yang berbahasa Betawi sebagai ungkapan yang berarti menari. Nandak adalah sebuah ekspresi yang dituangkan setiap insan manusia melalui pergerakan tubuh yang dinamis dan mengalun mengikuti alunan musik.

Menari berhubungan linear dengan sebuah karya seni tari walaupun tidak semua orang yang menari adalah pencipta tari dan tidak melulu pencipta tari adalah penari. Namun, seni tari diciptakan untuk dapat dinikmati secara langsung bagi orang yang mampu menuangkannya lewat ekspresi gerak atau dinikmati secara visual dan diapresiasi nilai estetikanya. Setiap karya tari memiliki ciri khasnya tersendiri dan sebuah karya tari yang lahir dari seorang pencipta tari mewakili identitas yang mencerminkan karakter sang penciptanya serta latar belakang budaya yang membentuknya.

Soedarsono (1976) menyampaikan bahwa seni tari merupakan ungkapan ekspresif jiwa manusia dalam gerak-gerak yang indah dan ritmis. Sehingga dapat dipahami bahwa seni tari adalah salah satu sajian seni pertunjukan yang memiliki perbedaan antar bentuk satu sama lainnya walaupun berada dalam satu wilayah kelompok masyarakat yang sama.

“Gerak tari merupakan hasil dari ungkapan ekspresi yang dinyatakan melalui gerak-gerak ritmis dan indah, yang masing-masing daerah memiliki ungkapan gerak khas dan spesifik yang dapat menjadi ciri daerah tersebut berasal” (Caturwati, 2014)

Dari ratusan rumpun seni tari yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, Tari Betawi adalah salah satu objek yang menarik untuk dikaji. Latar belakang sejarah yang membentuknya serta peran serta maestro-maestro seni tradisional yang ada dibaliknya adalah sebuah kisah perjalanan berharga hingga dititiknya berdiri dan bertahan sampai saat ini.

Tari Betawi yang banyak dikenal masyarakat umum terbagi dalam dua rumpun yaitu Tari Topeng dan Tari Cokek, faktanya diketahui bahwa rumpun seni tari Betawi terbagi dalam 7 macam dan tidak hanya terbagi atas Tari Topeng dan Tari Cokek saja. Diantara 7 rumpun tersebut adalah tari Topeng, tari Cokek, tari Sambrah, tari Zapin, tari Blenggo, tari Uncul dan tari pengembangan Silat.

Menurut Entong Kisam (dalam Garsati : 2012), “Masing-masing rumpun tari betawi yang terbagi kedalam beberapa jenis terbentuk karena perbedaan karakteristik, asal muasal dan bentuk pertunjukannya”. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan yang kental antara sajian rumpun tari Betawi satu dengan lainnya yang memiliki kekhasan dalam bentuk gerak, musik maupun elemen pendukung lainnya.

Baca Juga

Tari Topeng Betawi adalah tarian yang dibawakan pada pementasan kemasan seni pertunjukan rakyat tradisional yaitu Topeng Betawi.

Kitab Sunda kuno “Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian” dipercaya sebagai sebuah tulisan yang menjadi akar dari lahirnya sebuah kemasan seni pertunjukan Topeng Betawi. Kesenian Topeng Betawi berkembang di wilayah komunitas Betawi pinggir yang dahulu dilakukan dengan cara ngamen keliling kampung memberikan hiburan dengan mengangkat kehidupan masyarakat yang direpresentasikan dalam bentuk gerak tari dan lakon. Dalam naskah tersebut terdapat 3 rumpun kesenian yang lahir sebelum masuknya Islam di tanah Betawi dan belum terpengaruh akulturasi budaya diantaranya : Barongan atau Ondel-Ondel, Tapukan atau Topeng Betawi dan Ajeng atau Gamelan Wayang Kulit Betawi.

“1872, W.L. Ritter dan E. Hardouin dalam beberapa bukunya menyebutkan Batavia en Ommelanden atau panggilan Jakarta di masa itu, terdapat sebuah permainan rakyat popular yang disebut “Klein Maskerspel” sebuah tontonan jalanan yang disebut masyarakat sebagai Topeng Babakan.”

Atien Kisam mengungkapkan bahwa Topeng Babakan adalah panggilan untuk Topeng Betawi pada masa itu karena pengaruh dari sajian pertunjukannya yang terdiri dari beberapa babak atau bagian. Istilah babakan diambil dari kata babak dimana lakon pertama dibawakan secara pendek dan bisa terdiri dari 1 sampai 4 babak pertunjukan, sementara di lakon kedua adalah penampilan Lakon Bapak Jantuk.

Mak Kinang dan Bapak Dji’un adalah dua nama kesohor pasangan maestro Topeng Betawi terkenal di masanya yang juga merupakan generasi pertama dari kesenian Topeng Betawi di Cisalak. Mak Kinang seorang ronggeng topeng yang mahir dalam bernyanyi dan menari serta Bapak Dji’un seorang yang piawai memainkan kendang.

Dengan bermodalkan lampu oncor, gerobak berisikan kostum serta seperangkat alat musik, pertunjukan Topeng Betawi ramai diminati masyarakat karena sajiannya yang dinamis, menghibur dan penuh makna tersirat. Selain menyajikan musik, nyanyian dan teater, pernampilan tari pada seni Topeng Betawi juga menjadi bagian penting sebagai pemberi nuansa dinamis.

“…..bukan sebagai pembenaran, maksudnya adalah dari mengamati, mempelajari, mencerap dan mendalami seni yang berkembang disekitar pada era itu, Kong Dji’un menciptakan bentuk Topeng Betawi sendiri. Terbukti dari lagu-lagu yang ada dalam pertunjukan Topeng Betawi, tidak ada lagu yang didapat dari rumpun kesenian Betawi yang lain.”

: Atien Kisam dalam wawancara dengan penulis.

Dalam sajian pertunjukannya dahulu tari Topeng Betawi diiringi oleh gamelan Topeng betawi yang terdiri dari : Rebab, Satu set Kendang (2 Kulanter, 1 Gede), Kenong 3, Kenceng, Kecrek, Kempul dan Gong. Namun, semenjak abad 20-an mulai terdapat akulturasi seni melalui instrumen pendukung yang diambil dari rumpun seni lain seperti instrumen pada musik gambang-kromong atau instrumen musik modern seperti electric bass, gitar atau keyboard.

Pada perkembangannya, seni Topeng Betawi mulai memasuki ranah pertunjukan panggung, tidak hanya ngamen keliling kampung tapi juga menghibur acara pesta pernikahan atau sunatan. Bersamaan dengan naiknya popularitas Topeng Betawi, banyak masyarakat yang kemudian ingin mempelajari seni rakyat ini.

Pada masa tersebut masyarakat yang ingin ikut ngibing hanya bisa menari dengan improvisasi mengikuti para ronggeng Topeng diiringi dengan musik Kang Aji. Musik Kang Aji dilantunkan setelah musik pembuka “Tetalu” dimana saat musik tersebut dimainkan para Ronggeng Topeng silih berganti menari dan bernyanyi.

“Kalau ada orang mau belajar nopeng istilahnya ya mau ikut maen Topeng gitu, harus bisa nyanyi dan nari, karena ronggeng Topeng dituntut harus bisa nyanyi dan nari. Nah, tari Kang Aji yang dijadikan sarana belajar untuk pemula, karena Kang Aji itu selain menari kan ada nyayinya juga… gitu”Kartin Kisam dalam Garsati : 2012.

Melihat situasi ramainya minat masyarakat untuk mempelajari seni pertunjukan Topeng Betawi khususnya seni tari, muncul sebuah inisiasi untuk membentuk tari Topeng Betawi sebagai media belajar untuk para peminatnya. Sehingga, pada tahun 1978 terbentuk sebuah kegiatan yang melibatkan beberapa komunitas seni Topeng Betawi dan bekerja sama dengan Dinas Pemerintahan DKI Jakarta, mengadakan sebuah loka karya demi membakukan bentuk ragam gerak tari Topeng Betawi.

Tujuan dari diadakannya kegiatan tersebut adalah untuk mengumpulkan para seniman Topeng Betawi yang dikenal pada masa itu demi membuat sebuah media belajar dan bentuk pembakuan gerak-gerak pada tari Topeng Betawi berlandaskan pengetahuan para maestro dan penerusnya. Selain itu untuk membuat sebuah arsip nasional yang menuliskan salah satu kesenian tradisional rakyat Betawi yang bertahan sejak tahun 1930.

Dimandori oleh H. Kisam seorang sesepuh seni Topeng Betawi salah satu putra keturunan Mak Kinang dan Bapak Dji’un, ngulik tari Topeng Betawi-pun dimulai. Beliau berbekal ilmu yang diberikan oleh kedua orang tuanya, serta bersama dengan narasumber diantaranya : Mak Limah, Mak Benih, Mak Baih, Mak Manih, Pak Salim, Haji Dalih, Pak Radi dan Kartini Kisam, dilangsungkan sebuah penulisan naskah ragam gerak tari Topeng Betawi.

Kegiatan tersebut menghasilkan nama-nama gerak tari Topeng Betawi yang diambil dari beragam lagu yang dibawakan dalam satu rangkaian tari, pola iringan tabuhan musik, pola pukulan kendang, serta pola gerak tari seperti tercatat dalam karya tulisan budayawan Rachmat Ruchiat. Namun, di akhir hasil kegiatan belum terbentuk sebuah tari yang dapat dijadikan sebagai media ajar tari Topeng Betawi.

Pada tahun 1985 H. Kisam yang merupakan tokoh penting dalam perjalanan pembentukan ragam gerak dasar tari Topeng Betawi bersama dengan Joko Suko Sardono dan Kartini Kisam membenahi dan merekam ulang gerak dasar tari Topeng Betawi. Kemudian lahirlah bentuk tari Ragam Dasar Topeng Betawi yang dirangkum menjadi tari Kang Aji. Tari Kang Aji merupakan rangkaian gerak tari Topeng Betawi secara utuh dalam bentuk karya tari yang mudah dipahami oleh setiap insan manusia yang ingin memperdalam gerak tari Topeng Betawi.

Tari Kang Aji yang dibentuk sedemikian rupa merepresentasikan gerak-gerak dasar Topeng Betawi dalam satu susunan bentuk tari. Lantunan musik Kang Aji yang menjadi pengiring tari Kang Aji atau Tari Ragam Dasar Topeng Betawi mengalami perubahan setelah H. Kisam melakukan pemangkasan lagu yang awalnya berdurasi kurang lebih 30 menit menjadi 10 menit sehingga dapat dijadikan sebagai musik pengiring tari.

“Kalo kata Baba dulu gak bisa namanya musik Topeng di potong-potong, kalo Kang Aji umpama fullnya setengah jam, ya harus setengah Jam. Tapi setelah dikasih pengertian dan dicoba bareng-bareng sama Ibu, Pak Joko dan yang lain, akhirnya luluh juga dan ketemu Tari Kang Aji yang sekarang versi kurang dari 10 menit.”

: Cerita Kartini Kisam pada wawancara bersama penulis (Rae : 2021).

Gerakan yang ada pada Tari Kang Aji merupakan sebuah rangkuman gerak Topeng Betawi yang dijadikan dasar acuan gerak-gerak pokok tari Topeng Betawi. Walaupun jenis tari Topeng Betawi terbagi dalam beberapa tarian dengan kesulitan dan nama gerakan yang berbeda tiap tariannya, namun mengulas gerak dasar tari Topeng Betawi pada tari Kang Aji adalah bekal sebelum melangkah ke tingkatan selanjutnya.

Menarikan tari Topeng Betawi bermodalkan kekuatan kaki dan keseimbangan karena sikap tubuh dan sebagian besar gerak yang ada di tari Topeng Betawi mengandalkan kaki sebagai tumpuan. Pada tahap awal belajar gerak tari dasar Topeng Betawi memiliki sikap tubuh yang sesuai dan tepat sesuai dengan yang seharusnya bersifat wajib.

Kartini Kisam menyebutkan bahwa Adeg-adeg atau Mendak adalah sikap utama seorang penari yang harus dilakukan saat memulai, melakukan dan menyelesaikan Tari Ragam Gerak Dasar Topeng Betawi. Sikap tubuh berdiri tegap kemudian merendah dengan posisi menekukan kedua lutut kaki kearah samping serta membusungkan dada dan menarik torso serta pinggul ke belakang adalah sikap dasar yang harus diketahui dan dilakukan seorang penari untuk menari tari ragam gerak dasar Topeng Betawi. Selain itu pada tatanan lebih kecil terdapat gerak Ukel Tangan dan Selut.

Selain itu pada syarat yang harus dimiliki seorang penari Topeng Betawi yang baik adalah dengan menguasai 3 karakter yaitu : (a) Gandes, yang berarti lemah gemulai, (b) Ajer, berarti ceria atau periang : sebagai karakter yang harus dimunculkan penari saat berada diatas pentas terlepas apapun kondisi mental dibaliknya, (c) Lepas, sebagai dasar pembawaan penari saat menarikan tari dengan bebas dan tanpa ada tekanan dan beban.

Ragam gerak dasar tari Topeng Betawi yang terbentuk melalui tari Kang Aji adalah :

  1. Gerak Pokok
  2. Gibang
  3. Rapet Nindak
  4. Selancar
  5. Kewer
  6. Kewer 2 tangan
  7. Goyang Cendol Ijo
  8. Pak Blang
  9. Blongter
  10. Goyang Plastik
  11. Tindak Tempat
  12. Gonjingan
  13. Goyang Pundak
  14. Gibang Selendang
  15. Gerak Kagok/ Tindak Kagok
  16. Gerak Transisi :
  17. Koma Putes
  18. Koma Geleyong

Susunan Redaksi

DEWAN REDAKSI
Dr. Sal Murgiyanto
Yusuf Susilo Hartono
Jefriandi Usman
Atien Kisam
Achmad Basalamah

PIMPINAN REDAKSI
Agustina Rochyanti

REDAKTUR
Heru Joni Putra

PENINJAU
Dr.Nurwahidah, S.Pd, M.Hum
Dr.Madia Patra Ismar, S.Sn, M.Hum
Fawarti Gendra Nata Utami S.Sn., M.Sn.

KREATIF
Muh Ichsan

KONTRIBUTOR
Esha Tegar Putra
Dr. Drs, Peni Puspito, M.Hum
Yogi Hadiansyah, S.Pd, M.Pd
Lalu Dedi Purnawan, S.Pd
Edgar Freire
Manchu A. Syamrada
Suryana, S.Sn
Andi Tenri Lebbi, S.E
Peteriana Kobat
Nona Palalangan, S.Pd, M.Sn
Maharani Arnisanuari, S.Sn
Rini Widiastuti, S.Sn, M.Hum

Susunan Redaksi

DEWAN REDAKSI
Dr. Sal Murgiyanto
Yusuf Susilo Hartono
Jefriandi Usman
Atien Kisam
Achmad Basalamah

PIMPINAN REDAKSI
Agustina Rochyanti

REDAKTUR
Heru Joni Putra

PENINJAU
Dr.Nurwahidah, S.Pd, M.Hum
Dr.Madia Patra Ismar, S.Sn, M.Hum
Fawarti Gendra Nata Utami S.Sn., M.Sn.

KREATIF
Muh Ichsan

KONTRIBUTOR
Esha Tegar Putra
Dr. Drs, Peni Puspito, M.Hum
Yogi Hadiansyah, S.Pd, M.Pd
Lalu Dedi Purnawan, S.Pd
Edgar Freire
Manchu A. Syamrada
Suryana, S.Sn
Andi Tenri Lebbi, S.E
Peteriana Kobat
Nona Palalangan, S.Pd, M.Sn
Maharani Arnisanuari, S.Sn
Rini Widiastuti, S.Sn, M.Hum

ASETI