SENI, POHON JATI DAN KEHIDUPAN : Dunia Tari Kita Kini 1
I. “Filosofi” Menanam Pohon Jati
Saya ingin mengawali tulisan ini dengan mengutip dua percakapan. Pertama, dialog antara seorang pengamat kehidupan dengan petani tua yang sedang bekerja di kebon jatinya. Kedua, nasihat seorang nenek sederhana untuk cucu lelakinya yang baru kembali dari studinya di luar negeri. Dialog I: Pohon Jati dan Kehidupan–Ragawi atau Rohani?
“Mbah, kira-kira ada berapa pohon jati yang simbah tanam?” tanyaku kepada seorang bapak yang sedang membersihkan carang-carang pohon jati miliknya.
“Wah, berapa ya, simbah gak pernah menghitung, kalau seratus pohon kira-kira lebih, tetapi termasuk yang masih umur setahun dua tahun ya,” jawab bapak tua itu sembari meminta kofirmasi kepada orang yang membantunya.
“Kapan mbah batang jati ini bisa dipanen dan menghasilkan uang?” tanyaku.
“Wuah lha masih lama sekali, 30 atau 40 tahun lagi,” jawabnya.
“Waduh, masih lama sekali, saya saja mungkin tidak akan mengalami panen, apalagi simbah? Kenapa simbah tidak menanam jati emas saja yang kata orang lebih cepat panen?” kata saya.
“Begini yang ngger (nak), sejak awal niat simbah menanam pohon jati ini bukan untuk panen agar kemudian simbah dapat uang. Menanam pohon jati ini untuk tinggalan anak, putu dan buyut (cicit). Kalau niat menanam pohon jati untuk segera dipanen dan jadi uang, nanti hasilnya kayu jati yang tidak bagus, artinya jati muda. Memang benar namanya kayu jati, tetapi kualitasnya kurang baik. Atau kalau niatnya cepet panen ya tadi seperti apa yang angger katakan, tanam jati emas atau jabon (jati kebon), itu cepet panen dan jadi uang. Semua itu tergantung niatnya.
Ngger, orang hidup itu mengenal prinsip tabur tuai, artinya siapa yang menabur akan menuai. Namun demikian kita jangan terjebak dengan prinsip itu, seolah saya menabur supaya menuai. Ada kalanya dan itu baik, kita menabur saja jangan berpikir soal panen, biarkan orang lain yang memanen. Maka hendaknya dalam hal ini kita menanam yang baik. Seperti kita menanam kebaikan, jangan pernah berpikir kapan menuai. Karena kalau itu terjadi maka semua tindak kebaikan kita itu hanya pamrih.
“Ngger, seperti menanam pohon jati, demikian juga menanam kebaikan dan kasih, jangan berpikir panen. Semakin tua pohon jati semakin hebat kualitas batangnya, walaupun kita tidak bisa ikut memanen. Demikian pula dalam menanam kebaikan dan kasih, jangan berpikir panen pokoknya menabur saja dengan demikian akan menghasilkan kualitas hidup yang baik,” bapak itu menerangkan “filosofi” menanam pohon jati.2
Footnotes
- Tulisan ini adalah versi baru (revised edition) dari makalah yang saya tulis untuk Webinar “Digitalisasi Seni Tari dan Manajemen Seni Pertunjukan bagi Komunitas Seni Budaya Menuju Hidup Normal Baru” (Road to Festival Budaya Nusantara UPR & TWH Arts Festival 2021). Diselenggarakan oleh Sanggar Seni Budaya Tut Wuri Handayani di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, 9 September 2021.
- (Disunting dari “Menanam Pohon Jati,” Iwan Roes [email protected])
https://clcindonesia.wordpress.com/
FB Page: CLC Indonesia Selasa 10 Agustus 2021.