Di pelataran terbuka ketika malam kian sepi di bawah kolong langit, pria-wanita, tua-muda, saling mengaitkan tangannya berpegangan pada pada ujung lengan membentuk lingkaran utuh. Makin banyak orang, lingkaran menjadi berlapis-lapis. Lalu mereka bergerak. Bertumpuh pada kekuatan gerak kaki. Langkah pendek maju-mudur, menghentak ke tanah lalu bergerak sedikit menyilang ke kiri, ke kanan. Tubuh-tubuh yang saling mengait menjelmah semacam sebuah roda besar yang bergerak perlahan-lahan dari kiri ke kanan. Titik tengah lingkaran seolah menjadi poros yang mempertautkan mereka. Irama gerakan mengikuti pelantun Sole, semacam pantun kait-mengait, sambung-menyambung berbalas-balasan. Lalu pelantun Oha mulai berkisah. Kisahnya disesuaikan dengan konteks peristiwa di mana Sole-Oha diselenggarakan. Intinya tentang kisah hidup manusia. Perjalanan hidup seseorang, riwayat suatu suku atau kampung, renungan perkawinan, perdamaian, cerita tentang kebesaran dan keagungan tindakan manusia atau suatu peristiwa penting yang patut dimaknai.
Biasanya ketika kisah mau diakhiri, irama gerakan dan nyanyian dipercepat. Sambar-menyambar disertai lengking-lengking vokal yang terasa kental gelegak emosionalitasnya. Diperkaya dengan bunyi ritmik giring-giring yang dililitkan pada pergelangan kaki. Terasa sekali gairah dan spirit kolektifnya. Partikel-partikel bunyi (vokalisasi) menyembul spontan. Saling memberi tenaga yang diaksentuasikan dengan hentakan dan loncatan-loncatan kecil dengan tangan tetap saling mengait secara lebih kuat dan padu. Sungguh kita merasakan getar kedalaman, soliditas dan gelegak emosi purba (perasaan-perasaan murni) manusia Lamaholot.
Asal-usul
Sole-Oha merupakan kesatuan dari gerak, kisah dan nyanyian. Sole mengacu pada permainan pantun berbalas-balasan. Sementara Oha lebih merupakan pengisahan tentang suatu hal (peristiwa) dalam bahasa adat melalui nyanyian dan gerak tarian. Sole sebagai seni pantun dipelajari dan dimainkan oleh masyarakat umum sedangkan Oha dituturkan oleh orang-orang khusus. Kemampuan tersebut diperoleh melalui pewahyuan. Orang Lamaholot menyebutnya dengan “koda nimo tawa” (kata-kata yang tumbuh dengan sendirinya, tanpa melalui suatu proses belajar umumnya).
Menurut seniman Sole-Oha dari desa Karinglamalouk kecamatan Adonara Timur Dominikus Dei Lela dan Yosep Kopong, Sole merupakan kesenian asli Adonara. Sole dipakai dalam pergaulan masyarakat sebagai suatu seni bercakap-cakap (berkomunikasi). Sedangkan Oha berasal dari daerah Ile Ape Lembata. Oha punya nilai dan bobot yang berbeda. Bahasa Oha merupakan bahasa adat yang punya daya dan sakralitas tertentu. Ini dapat dilacak dari cerita asal-usulnya.
Konon, ada dua orang pria yang bernama: Ulu Duli Tukan dan Boli Keli memancing di laut. Keduanya lantas tertidur di dalam sampan dan bermimpi yang sama: bermain Oha dengan para gadis-gadis cantik. Ketika terjaga mereka mendapati seekor belut di dalam sampan. Pada suatu kesempatan, Ulu menyadap tuak. Di atas pohon tuak, ia ingat kembali dan melantunkan syair-syair Oha seperti dalam mimpinya. Boli mendengarnya dan melakukan gerak-gerakan tarian seperti yang dialami saat mimpinya. Dari kedua orang inilah Oha kemudian berkembang.
Persebaran Oha ke Adonara melalui Lewokmie (Desa Sandosi). Kedua jenis kesenian ini sudah menyatu, terlesap secara padu sejak zaman nenek-moyang dan disebut dengan nama: Sole-Oha; kesenian yang memadukan tarian dan kisah yang dituturkan melalui nyanyian. Sole-Oha sudah menjadi seni komunal terutama bagi masyarakat Lamaholot (Adonara).
Ekspresi Religiositas

Sole-Oha sebagai seni komunal menjadi bagian penting dari keberadaan organisasi sosial yang bernama Lewo (kampung). Selalu ada Sole-Ola di setiap upacara atau ritus penting yang berhubungan dengannya. Sole-Oha menjelaskan ekspresi religiositas masyarakat tradisional Lamaholot di mana bahasa adat (koda) dihadirkan melalui kisah yang dilantunkan oleh tukang Oha. Koda, sebagaimana halnya pengisahan kembali mitos, meminjam John A. Saliba, “merupakan aktualisasi usaha manusia untuk melukiskan lintasan yang supra-natural ke dalam kehidupan manusia”. Berdaya menguduskan.
Ini dapat diperkuat oleh kisah hadirnya Sole-Oha yang sudah disinggung terlebih dahulu di atas. Cerita tersebut sesungguhnya merupakan penggambaran hidup manusia. Perahu adalah simbol perjalanan manusia di lautan kehidupan ini. Mimpi merupakan media pertemuan manusia dengan realitas ilahi. Belut, ketika terjaga tiba-tiba ada di dalam perahu bersama dengan Ulu Duli Tukan dan Boli Keli, di dalam agama-agama lokal nusantara, adalah mahkluk air yang menjadi simbol kesuburan dan kesempurnaan. Bahwa yang Ilahi hadir mewahyukan diri, menyertai dan memampukan manusia untuk menuturkan sabda (koda) sebagai pegangan dan dasar hidup manusia.
Formasi Sole Oha yang berbentuk lingkaran utuh adalah mandala. Simbol waktu (esensi). Maka gerak melingkar tarian Sole-Oha merekam dasar perjalanan jiwa manusia: kembali menyatu dengan inti dirinya. Gerakan ritmis tetap, yang diulang-ulang, menjadi semacam meditasi gerak. Muara gerak adalah diam (hening). Perjalanan ke dalam menuju inti diri dan sekaligus menuju kepada sang waktu (esensi) hidup manusia. Di sana koda lahir secara spontan dari kedalaman rasa dan kematangan jiwa sang pelantun Oha.
Penguat Ikatan Sosial

Sole-Oha menekankan kebersamaan sebagai spirit dasar kelompok. Dengan mengikutinya, setiap pribadi masuk di dalam irama gerak dan nyanyian dan secara bersama-sama membentuk suatu gerak kolektif. Menari bersama-sama. Saling mengikuti dan menyesuaikan. Lebur dalam kesatuan.
Rasa, irama, tempo dan semangat dibangun bersama. Saling menopang dan mengikat. Individu-individu yang terlibat di dalamnya membuka seluruh perangkat indrawinya bagi orang lain. Kepekaan sosial dan perasaan kelompok dibangun melalui gerak tarian dan nyanyian. Struktur Sole-Oha perlahan-lahan mengkondisikan orang masuk ke dalam tematik kisah yang dituturkan oleh tukang Oha. Syair-syair Oha yang begitu indah yang muncul secara seketika (spontan) mencerminkan realitas bawah-sadar kolektif sekaligus supra-sadar yang mempertautkan individu-individu ke dalam roh kelompoknya. Pengalaman komunal direvitalisasi dan diaktualisasikan kembali .
Karena berakar pada pengalaman kolektif, Sole-Oha menyimpan imagi dan simbol-simbol sosial. Gerak dan nyanyian, respon-respon spontan berupa lengkingan-lengkingan vokal menampakkan dinamika batin pun emosi kolektif (kelompok). Menyentuh sisi-sisi terdalam dari rasa, imagi dan gerak, menghubungkan hal yang sama dari tiap individu. Merekatkan ikatan sosial yang menjadi modal dasar bangunan kebersamaan.
Sarana Pembebasan
Sole-Oha menjadi wahana di mana setiap pribadi, setelah penat oleh rutinitas kerja, membebaskan dirinya melalui sukacita menari dan menyanyi. Kesempatan ber-Sole-Oha adalah kesempatan bersukaria. Masuk dalam medan sukacita bersama. Kebersamaan membantu melepaskan simpul-simpul kesedihan, tekanan atau beban-beban personal. Semuanya akan lepas dengan sendirinya sebagai akibat dari pertautan rasa yang dibangun secara intens di dalam Sole-Oha sebagai pengalaman keseluruhan, pengalaman penyatuan.
Oleh karena itu, sebagai seni komunal Sole-Oha memainkan fungsi sebagai tempat melepaskan segala hambatan-hambatan psikis yang akan berdampak terhadap sikap dan laku di ruang aktual (keseharian). Gerak hentakan kaki ke tanah merupakan proses pembumian terhadap segala beban emosi dan segala hambatan batin. Keindahan syair dan getar indah bahasa adat (koda) yang dilantunkan oleh tukang Sole-Oha menjadi pemulih bagi segala erosi batin akibat dari segala praktek kekerasan atau tekanan hidup yang terlalu berat yang dialami di realitas obyektif (keseharian).
Sole-Oha dengan demikian berperan merawat interioritas jiwa-batin manusia. Di dalamnya semangat dan energi kolektif menarik emosi, gerak dan kesadaran individu ke tingkat tertentu. Menuju pada emosi, pikiran, gerak dan kesadaran yang lebih luhur. Lebih peka, lebih sadar ruang dan waktu. Memupuk perasaan berkomunitas. Saling rawat, saling jaga dan mendukung satu sama lain.
Media Silaturahmi
Di Adonara biasanya untuk sebuah hajatan besar, orang mengundang para seniman Sole-Oha dari kampung lain untuk ikut serta di dalamnya. Di sana mereka dapat saling menggugah, mengisi dan bertukar pikiran, berbagi perasaan serta saling mengingatkan sebagai sesama warga Lamaholot Adonara. Misalnya, ketika terjadi konflik antara Tobi dan Lewokeleng, sebagai sesama orang Lamaholot Adonara, mereka coba menggugah hati kedua kampung yang bertikai tersebut lewat cuplikan syair Oha sebagai berikut:
Mio kaka-arin
Duli hena na tenupa
Mio ata arik-reuk
Pali hena na kenowa
Syair pendek itu sangat menyentuh hati orang Lamaholot yang memahaminya. Kira-kira uraian maknanya demikian: Kalian itu bersaudara (kakak-adik). Kenapa hanya karena tempat (duli-pali) kalian bisa bertikai, menjadi asing (bermusuhan), saling tidak kenal seperti tidak sekandung?. (Padahal duli-pali adalah tempat menyadap tuak, memelihara ternak untuk hidup bersama).
Melalui Sole-Oha, perasaan ke-lamahot-an dibentuk. Pun ikatan rasa sebagai orang Adonara. Kebiasaan saling mengundang mempererat hubungan antarkampung dan dengan demikian menghindari konflik dan pertentangan. Melalui Sole-Oha, sesama orang Lamaholot dapat bersilaturahmi, saling mengunjungi. Mengisahkan dan menegaskan kembali kesatuan mereka di dalam keberagaman. Saling berbagi suka-duka, persoalan dan tantangan hidup di dalam rasa persaudaraan dan kekeluargaan yang lebih luas.
Menghadirkan Koda

Penyelenggaraan Sole-Oha menjadi kesempatan terbaik di mana koda (bahasa adat) itu hadir. Koda adalah bahasa yang memiliki kekuatan dan daya-daya tertentu. Koda berpasangan dengan tindakan. Jika tidak sejalan maka koda itu akan menghakimi penuturnya. Koda harus lurus karena ia bisa bikin “hidup”, pun bisa bikin “mati”. Koda yang dikisahkan di dalam Sole-Oha menuntun kesadaran dan mengarahkan tingkah-laku manusia. Koda juga berhubungan dengan daya-daya alam. Jika koda sesuai (sejalan) maka alam akan meresponnya. Hujan turun, badai berhenti, yang sakit bisa sembuh secara seketika dan sebagainya. Gerak rampak Sole-Oha mengafirmasi kebenaran dan kekuatan koda yang dituturkan oleh tukang Oha. Rampaknya menjelaskan bahwa koda punya potensi dan kekuatan aksi (tindakan). Diakui kebenarannya oleh semua orang. Bahwa hidup mesti lurus, rajin bekerja, ingat orang susah dan terutama berbahkti terhadap orang tua, leluhur dan lewotana. Sole-Oha berperan mengendalikan perkataan, sikap dan tingkah laku manusia. Mengingatkan manusia dan masyarakat akan peran, fungsi, tugas dan tanggung jawabnya terhadap Tuhan (Rera Wulan Tana Ekan), leluhur, sesama dan segenap kehidupan.
Betapa pentingnya Sole-Oha sehingga almahrum maestro Sole-Oha dari Lewokmie Yohanes Hiba Sabon yang meninggal tahun 2005 yang lalu, ketika terbaring tak berdaya di tempat tidur, hampir tiap hari bertanya mengingatkan di mana dan kapan Sole-Oha diselenggarakan lagi. Ia merasakan dan mengetahui baik arti dan peran Sole-Oha di dalam mendidik jiwa dan karakter manusia dan masyarakat Lamaholot-Adonara. Tanpa Sole-Oha manusia akan jadi kerdil. Orientasi hidupnya hanya akan berpusat pada kepentingan dirinya. Lupa nilai, pengetahuan dan ajaran luhur dari koda yang telah menghidupi dan merawat jiwa orang Lamaholot dari generasi ke generasi.
Hal senada diakui oleh kepala desa Karinglamalouk Martinus Wadan Ola. Ketika beliau dilantik, jabatan kepala desa yang diembannya dilukiskan melalui Sole-Oha sebagai “belen baan ribu, roga leba ratu” (pemimpin/pembesar yang pikul/panggul masyarakat). Disinilah letak makna kepemimpinan. Pikul/panggul masyarakat lengkap dengan segala persoalan, kebutuhan dan beban hidup mereka. Oleh karena itu, “kalau koda ini dimengerti maka pemimpin tidak bisa bikin susah masyarakat apalagi menipu dan memeras mereka”, katanya.
Keprihatinan dan harapan
Para seniman Sole-Oha di kampung-kampung tetap yakin bahwa Sole-Oha adalah milik masyarakat. Tetap menggeliat entah diperhatikkan atau tidak oleh pemerintah. Namun seiring dengan perkembangan zaman di mana tontonan layar kaca kita dihujani sinetron, musik dan lagu-lagu cengeng, didukung dengan makin banyaknya program televisi yang menawarkan cara instan untuk menjadi “bintang” menimbulkan kecemasan tersendiri di hati mereka. “Orang muda sekarang lebih menggemari dan memuja penyanyi jebolan Indonesian Idol, Akademi Fantasi Indosiar dan semacamnya. Ketika datang di daerah kita misalnya, mereka diterima para pejabat, disambut dan diarak bagai dewi-dewi. Ini berbanding terbalik dengan apresiasi generasi muda maupun pemerintah terhadap para seniman tradisi seperti kami”, kata Ketua Sanggar Mura Lewo Thomas Muli Boli.
Padahal para seniman Sole-Oha di kampung-kampung secara tulus mendedikasikan dirinya merawat jiwa dan jati-diri manusia dan masyarakat. Tukang Oha misalnya, punya disiplin sikap dan laku yang sangat tinggi. Agar koda yang hadir melalui mulutnya bisa mendatangkan hal baik bagi orang lain. Etika dan tanggung-jawab berkeseniannya sangat tinggi.
Oleh karena itu, perlu ada upaya dan komitmen bersama untuk merawat Sole-Oha sebagai salah satu warisan kebudayaan yang bernilai tinggi. Harapan tersebut antara lain disampaikan oleh Agus Lewokeda anak dari almahrum maestro Sole-Oha Yohanes Hiba Sabon. “Alangkah menariknya kalau pada perayaan-perayaan besar seperti HUT Kemerdekaan, Hari Sumpah Pemuda, atau Malam Tutup Tahun diadakan Sole-Oha di ibu kota kabupaten ataupun di setiap ibu kota kecamatan dengan melibatkan ribuan masyarakat”. Ada hal penting yang menurutnya dapat dipetik dari Sole-Oha yakni bagaimana belajar mengintegrasikan kata dan tindakan. Tidak bisa omong lain buat lain. Satunya kata dan perbuatan harus menjadi milik anak muda sejak di usia belia. Sebab mereka adalah penghuni masa depan.
Mengenal dan mencintai Sole-Oha sebagai ekspresi budaya yang menjadi identitas masyarakat sangatlah penting. Sebab, dengan mengenal secara baik hati, rasa, nada, gerak, suara, jiwa, dan bahasa masyarakat maka ketika menjadi pemimpin kelak mereka akan paham betul kebutuhan, kemauan serta mampu mendekati, bergaul dan menyelesaikan persoalan-persoalan masyarakat. Sehingga kebijakan atau solusi yang diambil tidak akan menimbulkan masalah-masalah baru di masyarakat. Dan yang utama adalah ketika Sole-Oha mulai ditinggalkan lambat-laun, masyarakat Lamaholot akan kehilangan kekayaan, musikalitas, imagi, kedalaman dan keluhuran bahasanya. Kehilangan bahasa (koda) akan membuat manusianya gagap berkomunikasi secara indah dan bermartabat. Yang hidup kemudian adalah bahasa terminal, bahasa preman: saling teriak, saling maki, saling umpat dan seterusnya. Itukah wajah kemanusiaan dan peradaban manusia dan masyarakat Lamaholot di masa yang akan datang?
*Pengamat Seni Pertunjukan tinggal di Lewotala Flores Timur NTT