“Adapun tari Serimpi dan tari Badhaya itu adalah dua macam tari yang telah lama benar umurnya. Meskipun zaman yang kita lalui sekarang ini zaman baru, banyak didapati pergerakan dan banyak timbulnya perubahan yang dikehendaki zaman baru itu, akan tetapi tari Serimpi dan Badhaya itu tidak disinggung-singgung oleh perubahan zaman dan tiada terusik oleh kesentosaannya, oleh kemauan baru, walaupun di zaman ini dunia telah berguncang seluruhnya, mencari perubahan yang sesuai dengan zaman ini, akan tetapi tari itu tetap terus hidup juga dengan senang dan tenang. Seangin pun tidak ada mendapat usikan daripada gerakan alam ini.”
Demikianlah secuil kenang-kenangan dari catatan almarhumah Ny. B Van Helsdingen Shoevers, Juli 1925. Bagaimana dengan sekarang, 96 tahun kemudian? Ternyata tari Badhaya dan Serimpi masih mampu bertahan. Ia tetap menyusup melata seperti ular atau tiba-tiba mengalir seperti air mencari tempat di luar lingkungan kraton sebagai basis kulturalnya. Terbukti betapa tari-tarian tersebut telah turut memperkenalkan dan mengharumkan nama bangsa dan negara Indonesia di forum-forum pertunjukan seni bergengsi, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Tari Jawa turut menyemarakkan keberagaman dunia pertunjukan, baik di perhelatan-perhelatan ataupun pesta-pesta perkawinan. Ada yang dikemas sebagai paket pariwisata maupun sarana diplomasi politik. Selama 96 tahun terakhir ini, meski timbul-tenggelam, tari Badhaya Serimpi tetap dipertunjukkan. Selain dalam bentuk kuna, yang mengalami pengurangan dalam durasi waktunya, terkadang dapat juga disaksikan karya-karya baru dari empu dan guru tari Badhaya dan Serimpi seperti RM. Dinusatomo, Sasmito Mardawa, Theresia Suharti, S. Ngaliman, Sulistyo Tirtokusumo, Roosini dan lain-lain (gaya tari Yogya).
Ada juga pertunjukan-pertunjukan Wayang Orang dan Langendriyan dengan kisah Mahabharata, Ramayana, dan Panji. Penggarapannya telah berkembang dan tetap mempergunakan unsur-unsur gerak tari Badhaya. Meski mengalami inovasi tapi masih menyentuh pola dan kaidahnya. Di Jakarta, hal itu dapat dilihat dari karya Sal Murgiyanto dan S.Kardjono (alm). Kita juga mengenal Retno Maruti yang sangat produktif. Sebelum pandemi, kita bisa menyimak beberapa karya koreografinya yang bertitik tolak pada tari Badhaya, seperti Jayaprana Rara mendut, Menak Jingga Lena, Damarwulan Ngarit, Paguna Palgunadi, Arjuna Wiwaha, Bhisma Gugur, dll. Begitu juga Rury Nostalgia, putri Retno Maruti. Keduanya, dengan ciri khas karyanya, menghadirkan para penari yang hampir selalu menembang selagi menari. Hanya berbeda dengan Langendriyan, para penari tidak harus menari berlutut.
Selain itu dunia pertunjukan di Jakarta, beberapa tahun lalu, disemarakkan dengan apa yang disebut sebagai tari Jawa kontemporer, yang justru tetap menggunakan idiom Badhaya atau Serimpi sebagai acuannya. Misalnya, karya-karya Sardono W Kusumo dalam Mahabharata (1988), Ramayanaku (1990), Passage through the Gong (1993), juga karya Sulistyo Tirtokusumo dalam Panji Sepuh (1993), sertaElly Luthandengankarya Drupadi, Gandhari, dan sebagainya.
Perbedaannya, di dalam karya-karya tersebut, berbagai sumber sejarah budaya yang digunakan sebagai latar belakang dan perbendaharaan gerak tari Badhaya yang dipakai sebagai acuan, diramu secara cermat dan diolah kembali berdasarkan pengamatan dan pengalaman pribadi si pembuat karya dan penari pendukungnya. Sehingga, karya-karya tersebut jauh lebih hidup dan bergerak. Substansi Badhaya tetap muncul di dalam karya-karya tersebut.
Di era pandemi ini, pengetahuan kita tentang tari Badhaya pun bertambah, dengan maraknya rekaman video karya para penata tari Solo maupun Yogya, yang biasanya jarang bisa kita nikmati di Jakarta. Melalui kecanggihan media elektronik, berbagai macam tari Badhaya dapat kita saksikan. Mulai dari yang kuna, seperti Badhaya yang masih ditarikan di jaman dulu oleh para abdi dalem yang masih sangat belia usia, sampai sekarang Badhaya yang ditarikan para penari muda, baik dari ISI Surakarta maupun Yogyakarta. Atau oleh guru dan pakar seni tari Badhaya dan Serimpi. Sebagian besar di antaranya bisa dengan mudah kita akses di YouTube atau Instagram. Kita melihatnya dengan tenang dan senang.
Sebenarnya, pengalaman saya melihat dan mempelajari tari Badhaya dan Serimpi, serta pergulatan secara langsung dengannya, tidaklah banyak. Pertunjukan tari Badhaya dan Serimpi yang saya lihat secara langsung, baik di kraton maupun di luar tembok kraton, hanya terbatas. Namun pengalaman tersebut terus melekat. Ada sesuatu di sana yang tak terlihat dan itu mengusik perhatian saya semasa kanak dan remaja. Hanya saja, pada waktu itu tak ada keberanian saya untuk menanyakan kepada guru-guru tari saya dari Yogya, yakni Pak Ngabehi Jayasentika, Pak Basuki Kuswaraga, dan Ibu Hendramelik. Dan bayangan yang melekat itu meruyak kembali setiap membaca secuil puisi dari buku Tyra De Klein:
Di atas tangkai yang melengkung
Bunga berayun mengikuti arah angin
Kelopaknya merekah
Siap untuk disinari matahari
(pada mula matahari adalah Dewa)
Berembus angin
Putiknya yang lembut bergetar
Kelopak bunga yang gugur
Menghilang…
Puisi tersebut dibuat berdasarkan kesan Tyra De Kleen tentang Badhaya Serimpi yang disaksikannya di kraton. Semua gadis belasan tahun yang menari itu ia ibaratkan sebagai bunga yang mulai merekah, dengan tubuh yang melengkung oleh tiupan angin, siap untuk disinari matahari. Puisi tersebut juga dilengkapi dengan tulisan gambar sketsa tari Badhaya Serimpi.
Keterangan dalam buku penyair tersebut membuat hati saya semakin terusik. Ingatan saya kembali pada keingintahuan saya tentang misteri terselubung di balik tarian-tarian kuna yang pernah saya lihat semasa kecil tersebut.
Apabila kita mendapat kesempatan untuk duduk di serambi depan yang luas dan terbuka (pendapa) di kraton Yogyakarta atau Surakarta, dalam jamuan upacara besar Istana, maka terdengarlah bunyi pathetan/nyanyian awal pembuka, tanpa gamelan, yang dinyanyikan secara sendiri atau beramai ramai. Lalu, diikuti suara rebab, gender, gambang, dan kemanak yang dibunyikan secara ritmis dalam tempo lamban dan halus. Menyayat hati.
Kemudian, dari arah pintu sebelah kanan pendapa, keluarlah dari Istana sebanyak sembilan orang gadis belasan tahun. Atau kalau tari Serimpi, kadang hanya empat gadis saja. Mereka merupakan gadis-gadis pilihan yang menjadi penari istana dengan pakaian dan perhiasan yang indah serta mewah. Mereka berjalan keluar beriringan dengan langkah kaki yang biasa disebut mager timun, yang artinya “melangkah seperti pagar mentimun”. Mereka seperti arca dewa dengan kepala agak menunduk, badan sedikit condong ke depan, dan tatapan mata yang memandang ke arah tidak lebih dari tiga meter ke depan.
Setiba di tengah pendapa, dalam posisi masing-masing yang telah ditentukan, telapak depan kaki kanan mereka melakukan gerakan kecil seperti mengetuk lantai, diikuti gerakan ke belakang menyepak kain dengan halus sebelum mendaratkan telapak kakinya kembali. Gerakan ini disebut sebagai debeg gejug.
Kain samparan yang dikenakan, biasa dipakai untuk tari gaya Surakarta, yang menjuntai ke lantai sepanjang 50 – 60 cm itu, berkelebat sesaat lalu merebah ke belakang serta ke lantai. Lalu mereka pun duduk bersila. Begitu bunyi gong pertama, mereka lalu melakukan sembah. Demikianlah penampilan mereka. Selanjutnya, ketika gamelan sudah berbunyi lengkap, mereka pun mulai menari dengan gerakan-gerakan halus, lembut, pelan, dan menawan.
Tubuh mereka seakan tangkai bunga yang melengkung-lengkung ditiup angin. Jemari mereka yang lentik terkadang melakukan gerakan-gerakan kecil yang sangat terampil dan indah. Kadang disertai dengan mengambil ujung selendang yang melilit pada pinggang dan menjuntai ke bawah menyentuh lantai. Gerakan penari-penari Badhaya ini terkadang dikatakan sebagai gerakan menari seperti ombak laut. Lengannya yang kurus panjang diibaratkan seperti ular melilit.
Bagi saya, yang luar biasa adalah keelokan mereka. Keindahan paras tubuh yang kuning langsat oleh baluran lulur kuning, ditambah perhiasan dan pakaian yang sangat indah, sama sekali tidak mengganggu gerak-gerik para penari tersebut dalam menari. Watak-watak manusia yang buruk, yang mungkin mereka miliki atau kekurangan-kekurangan lain yang ada dalam diri mereka, tiba-tiba lebur begitu saja menjadi satu dengan keindahan mereka yang sangat meditatif dan kontemplatif. Mengeng, itulah kata yang tepat bagi saya untuk menyebutkan keadaan mereka saat menari. Ada aura tubuh yang memancar dari tubuh mereka.
Begitulah bayang-bayang masa kecil itu muncul kembali. Lalu pada suatu ketika di perpustakaan Lincoln Center, di New York, saya mendapat kesempatan melihat beberapa film lama yang menampilkan tari Badhaya dan tarian yang lain dari keraton di masa lalu. Saya masih ingat betapa para penari itu menari seperti air dengan kepolosan dan keluguan yang mereka miliki. Menari dengan seluruh batinnya.