Pada mulanya Badhaya adalah tari persembahan yang ditujukan untuk dewa-dewa. Ketika agama Hindu dan Budha menjadi bagian dari kehidupan raja-raja Jawa, kurang lebih pada abad ke-8. Ritus tarian ini dianggap sangat sakral, suci, dan hanya dilakukan di kaki-kaki candi. Para raja memuja dan menasbihkan dewa-dewa mereka melalui Badhaya, dengan iringan tetabuhan, bau dupa, serta wangi bunga.
Ketika agama Islam mendesak mundur agama Hindu-Budha pada abad ke-15 hingga abad ke-16, tari-tarian tersebut tidak musnah. Tetap ada tempat untuk mereka di istana.
Pada mulanya adalah mitos atau legenda tentang pertemuan Ratu Kidul, penguasa Laut Selatan itu, dengan Panembahan Senapati Ing Aloga. Kemudian, hal itu mengilhami turunannya menciptakan tari Badhaya. Menurut Babad Tanah Jawi dalam mencapai cita-cita memperoleh kekuasaan atas tanah Jawa, Senapati sering mengadakan perjalanan ke muara sebelah selatan sungai Opak untuk melakukan samadi atau meditasi. Ketika sedang meditasi itulah bertemu dengan Ratu Kidul yang memberikan sembah kepadanya dan meramal masa depan serta keturunannya yang gemilang. Setelah itu, bersama Ratu Kidul, ia menuju istana Lautan Selatan dan di sana ia mendapat pelajaran dalam ilmu pemerintahan, yang di dalamnya termasuk ilmu strategi perang (yang secara tersamar ada dalam komposisi Badhaya dan cara memanggil roh-roh halus.
Pertemuan, persekutuan, dan perkawinan sakral Panembahan Senapati dan Ratu Kidul inilah yang kemudian mengilhami lahirnya tari Badhaya, yang baru diciptakan kemudian semasa pemerintahan Sultan Agung, cucu Panembahan Senapati, yang memerintah tahun 1614-1645. Sejak saat itulah tari Badhaya merupakan simbol kebesaran dan kekuasaan Sultan Agung dan raja-raja keturunannya. Raja dan kekuasaannya tidak dapat dipisahkan dari konsep spiritual kesejajaran antara makrokosmos dan mikrokosmos. Keselarasan kehidupan manusia dan masyarakat sangat tergantung pada kemampuan spiritual raja dalam menjaga dan melindungi rakyatnya.
Ketakutan dan terorisme alamiah tentang dahsyatnya gelombang Lautan Selatan dipersonifikasikan pada diri Ratu Kidul, yang membuat masyarakat memujanya sebagai dewi penguasa Laut Selatan. Anehnya, Ratu Kidul yang begitu berkuasa kemudian melakukan sembah pada Senapati dan bersedia melakukan perkawinan sakral dengan Senapati dan raja-raja keturunannya di kemudian hari.
Dalam mitos Ratu Kidul tersebut, Senapati dan keturunannya memperoleh dasar otoritas karismatik yang turut-serta berperan dalam realitas kosmis magis. Nyanyian atau tembang Gendhing Ketawang menyebutkan kebesaran raja yang menang perang dengan pakaiannya yang serba indah, ketampanan, dan keluhuran budinya sebagai dewa-dewa. Kekuasaannya tak terbatas dan isterinya tak terbilang. Syair-syairnya merupakan ungkapan cinta kasih dari seorang nyai (Nyai Rara Kidul atau para penari Badhaya?) yang mendambakan Wong Agung Susuhunan, termasuk pernyataan bahwa keturunan Susuhunan akan dijadikan pendamping di peraduan. Ada kepasrahan di sana, ketidakberdayaan, kerinduan yang dalam, rasa cinta, keinginan dan hasrat rasa birahi, yang semuanya seperti teredam. Di dalam sebagian tarian Badhaya, lirik yang menggambarkan hal itu bisa kita jumpai.
Adapun para abdi dalem Badhaya, bukan berasal dari keluarga raja, melainkan dari gadis-gadis desa yang dipilih oleh para guru tari kraton. Mereka yang masih sangat berusia muda, antara 13-25 tahun, harus berpisah dari orang tua, untuk tinggal di dalam tembok kraton, dan kemudian dilatih sedikitnya seminggu tiga kali. Selain itu mereka harus belajar tentang tata cara kehidupan kraton, membaca kesusastraan Jawa, dan membatik. Meskipun kehidupan sebagai penari dalam tembok kraton itu berat, dan tidak mudah, mereka tidak berani menolak. Bahkan banyak yang melakukan secara suka rela, karena bagi mereka hal itu merupakan bagian dari kehidupan beragama. Lagi pula, apabila dikemudian hari raja menghendaki mereka menjadi selir/gundik raja, ini berarti mengangkat derajat kehidupan keluarga mereka. Ada juga penari yang kemudian diberikan kepada para priayi atau pangeran, tapi ada juga yang dikembalikan kepada keluarganya jika tidak bisa menari, atau tidak cukup pandai atau telah melakukan hal hal yang tidak berkenan di hati kerabat keraton atau raja atau guru tarinya. Di bawah bimbingan gurunya, lurah Badhaya, mereka melangsungkan kegiatan latihan tiga kali seminggu,. Kehidupan mereka di luar latihan itu sendiri penuh dengan tata cara dan norma yang berbeda dengan remaja di luar kraton: sabar, tidak banyak bicara, serta banyak melakukan puasa, menjadi perilaku keseharian.
Sementara itu, tari Badhaya sendiri yang terdiri dari 9 penari itu, diumpamakan sebagai perwujudan Blegering Manungsa (ujud sosok manusia) yang memiliki perangkat 9 lubang, yang terdiri dari 2 lubang mata, 2 lubang hidung, 2 lubang telinga, 1 lubang mulut, 1 lubang kelamin, dan satu lubang dubur. Kesembilan lubang ini memiliki nama-nama tertentu yang mengandung nilai filosofis yang berkaitan dengan manusia dan kelangsungan kehidupannya.
Di dalam pedalangan pertunjukan wayang kulit atau wayang orang, kesembilan lubang tadi sering diucapkan oleh sang dalang dalam kaitannya dengan raja, atau ratu, kesatria atau bahkan abdi dalem, apabila sedang mengalami penderitaan, kegelisahan, pancaroba, atau mempunyai keinginan tertentu yang sangat besar dan berat, lalu mereka melakukan tapa brata (bertapa) dengan cara menutupi kesembilan lubang tadi, yang disebut juga nutupi babahan hawa nawa sanga. Kemauan, keinginan, yang pertama, yang disebut sebagai karep atau kehendak, apabila kurang waspada, bisa menimbulkan kekacauan. Kehendak atau keinginan terdiri dari kehendak jelek, yang memiliki pekerti kekuatan nafsu yang akan menjadikan angan-angan dan sering disebut nyet/krenteg, yaitu hasrat.
Kegelisahan atau keinginan baik biasanya memiliki pekerti Sang Sabda, yang ada dalam rahsa (rasa) dan diterima dalam hati sanubari sebagai dhawuh (kurnia). Hal ini tidak perlu dipikir-pikir lagi, karena rasa tersebut sudah memiliki pengertian yang mantap. Itu sebabnya, pada saat munculnya kedua kegelisahan tadi, manusia selalu harus berusaha meneliti kembali dengan saksama, agar langkahnya dapat lurus dan mendapatkan apa yang diinginkan.
Tetapi keputusan memilih yang tepat tersebut sangat sulit. Karena itu dilakukan melalui samadi, tidak tergesa atau memaksakan diri. Melalui penjernihan diri tentu semua akan berakhir sesuai dengan yang dikehendaki. Dalam kalimat yang sederhana disebutkan, perang batin yang digambarkan di dalam Badhaya sebenarnya menggambarkan rebut-menang di antara banyak kehendak, keinginan, dan kemauan. Sebab kehidupan di dunia pada dasarnya hanya berisikan dua hal; baik-buruk, benar-salah, atas-bawah, kiri-kanan, hitam-putih. Apabila kebaikan mampu mengalahkan keburukan, di situ ditemukan apa yang disebut loro loroning atunggal dan curiga manjing warangkara. Keduanya menyatu, keris masuk ke dalam kerangkanya. Yang disebut sebagai persekutuan antara kawula dan Gusti, yakni hamba dan Allah.
Apa yang dimaksud sebagai baik dan buruk tentu saja sangat erat dengan etika Jawa, hukum-hukumnya, moral agama, kepercayaan, politik, ekonomi, dan adat istiadat yang berlaku waktu itu. Meskipun demikian, dalam hal ini, saya melihat adanya kemungkinan-kemungkinan yang sebenarnya terbuka bagi setiap manusia untuk memilih dan membuat keputusan-keputusan guna mengatasi gejolak dan kegelisahan-kegelisahan batinnya.
Kain penutup tubuh, yang pemakaiannya dililit berlapis itu sama halnya dengan manusia dalam kehidupan yang tidak linier ini, kehidupan yang melingkar-lingkar dan meliuk-liuk seperti gerakan tubuh penarinya. Sedangkan kain yang disisakan menjuntai ke bawah sepanjang 50 – 60 cm lebih itu, biasanya berada di sela-sela kaki penarinya, seperti seekor ular melata, terkadang tersibak ke atas, ke kiri ke kanan, dan ke tengah, seolah ingin berkata kehidupan itu sebenarnya seperti ular, terkadang seperti air, dengan riak dan gelombangnya.
Sementara itu, dari sejarah perkembangan kraton kita tahu bahwa politik penjajahan Belanda telah memecah belah kraton Kartasura menjadi dua yakni kraton Surakarta dan Yogyakarta. Maka kalau kraton Surakarta melanjutkan tariannya Bedhaya Ketawang, Yogyakarta pun kemudian memiliki Badhaya sendiri yakni Tari Badhaya Semang. Demikian pula ketika kraton Surakarta terpecah menjadi dua, dengan istana Mangkunegaran yang menguasai barat laut Surakarta, kraton ini pun memiliki Badhaya yang disebut Badhaya Anglir Mendung. Demikian pula ketika kraton Yogyakarta pecah menjadi dua dengan adanya Pakualaman, maka istana ini pun memiliki tari Badhaya sendiri, yaitu tari Badhaya Arjuna Wiwaha
Di sinilah kita melihat bahwa unsur politik secara langsung mempengaruhi perkembangan tari Badhaya. Terpecahnya kraton tersebut memiliki pengertian bahwa di masa itu otonomi kekuasaan raja sudah semakin menyempit. Di sisi lain, dengan munculnya raja baru, bertambah pula jumlah tari Badhaya dengan gaya dan jumlah yang berbeda. Kraton Pakubuwana Surakarta dan Hamengkubuwana Yogyakarta masing-masing terdiri dari 9 penari. Tapi untuk kraton Mangkunegaran dan Pakualaman, masing-masing hanya 7 penari. Dalam perkembangannya kemudian, merosotnya raja-raja dalam konsep politik dan dibuatnya peraturan-peraturan baru oleh pemerintah Belanda, yang isinya mengurangi sebagian kekuasaan dalam konsep kultural, mengakibatkan raja mulai mencurahkan perhatian pada penyelenggaraan upacara-upacara seremonial. Dari sini pun kemudian, dalam perkembangannya, lebih banyak lagi Badhaya yang diciptakan. Begitu pula Serimpi.
Pergeseran tujuan tari membuahkan sedikit perubahan dalam nilai artistiknya. Misalnya, Srimpi Sangopati–Sang Apati di kala raja Pakubuwana IV berisikan petuah-petuah dan ketika diperuntukkan untuk tujuan perundingan dengan Belanda di jaman Pakubuwana IX, maka tari tersebut ditambah dengan perlengkapan gelas seloki untuk minum dan pistol. Konon, apabila Belanda tidak mau memenuhi keinginan raja pada waktu itu, seluruh kerabat istana siap untuk mati. Itu sebabnya Srimpi Sangopati berubah nama menjadi Srimpi Sangupati. Demikian penjelasan bapak S. Ngaliman, seorang guru tari Badhaya Srimpi di dalam dan luar kraton.
Lalu ketika Pakubuwana X menerima penghargaan dari kerajaan Belanda, puji-pujian dipersembahkan untuk raja dan pujian untuk Belanda, Srimpi Ludira Madura, tertera dalam tembangannya. Semasa pemerintahan Hamengkubuwana VIII lain lagi, tari Badhaya dipertunjukkan dengan 9 penari pria. Tanpa menggunakan giwang pada telinganya. Yang lebih mencolok lagi adalah perubahan yang dilakukan oleh Hamengkubuwana IX, yaitu menciptakan Badhaya Sapta hanya dengan tujuh penari, sedangkan Badhaya Manten hanya 6 penari. Ada pula Srimpi Renggawati dari Yogya yang menggunakan properti sebatang pohon dan burung belibis putih, dengan 5 penari. Tarian yang tersebut paling belakangan, dibuat ketika Indonesia sudah menjadi Republik.
Yang patut diperhatikan, perubahan-perubahan yang terjadi di dalam kehidupan raja-raja dan masyarakatnya, turut mempengaruhi sedikit-banyaknya perubahan-perubahan di dalam koreografi tariannya.