ASETI MAGZ EDISI KE-3 APRIL 2022

Festival Literasi Tari

“Rasa” Juga Butuh Literasi

Dunia seni tidak mungkin lepas dari apa yang disebut sebagai intelektualitas. Meskipun kata “rasa” seringkali terdengar dalam pembicaraan tentang penciptaan seni, hal itu tidak berarti bahwa suatu karya seni hanya diciptakan berdasarkan “rasa” saja. Kemampuan mendapatkan dan mengeksplorasi “rasa”, dengan suatu dan lain cara, juga terikat erat dengan daya intelektualitas. Seni membutuhkan rasa dalam prsoes penciptaannya, untuk kemudian memproduksi rasa, sebagaimana di saat yang sama penciptaan seni membutuhkan intelektualitas dan sekaligus memproduksi intelektualitas.

            Terkait rasa, kita tentu tak jarang bertanya, mengapa selera estetik seseorang bisa berbeda dengan seorang lainnya? Apakah tinggi-rendahnya selera estetik hanya didapatkan begitu oleh seseorang atau ada aspek-aspek tertentu yang dapat mempengaruhi kualitas rasa-selera seseorang dalam menilai ataupun menciptakan karya seni?

            Yang pasti, suatu selera bukanlah datang begitu saja. Faktor paling lumrah dalam mengondisikan selera seni seseorang adalah lingkungan. Seringkali dikatakan bahwa ketika berada di lingkungan tertentu, seseorang mendapatkan selera estetik tertentu secara alamiah. Sebenarnya, hal itu bukan berarti alamiah begitu saja. Setiap lingkungan mempunyai kondisi-kondisi yang berbeda dalam mengondisikan selera estetik orang-orang yang berada dalam lingkungan tersebut.

            Sebagai contoh, lingkungan masyarakat umum, misalnya, yang katakalah tidak kentara kegiatan seninya, mendapat “pelajaran” tentang selera estetika tentang pakaian misalnya, dari sinetron di televisi yang sangat digemari secara massal. Biasanya, aspek-aspek yang secara tidak langsung seperti sinetron televisi itu telah menjadi “sumber literasi” bagi masyarakat awam tentang selera estetik. Itu sebabnya sering kita lihat, di perkampungan hari ini, banyak masyarakat yang bergaya seperti bintang sinetron.

            Bila ada salah satu anggota masyarakat di dalam lingkungan yang sudah dipengaruhi sinteron itu yang mempunyai selera estetik yang berbeda dengan warga kebanyakan, maka hal itu terjadi tak lain tak bukan karena adanya “sumber-sumber literasi” baru yang didapatkannya, misalnya lewat interaksi dengan lingkungan baru, adanya sumber-sumber pengetahuan baru dari majalah, munculnya pintu-pintu baru untuk mengikuti acara-acara gaya hidup, dan seterusnya.

            Dengan kata lain, suatu lingkungan akan mempengaruhi corak selera estetik seseorang. Bila seseorang hanya bertungkus-lumus dalam satu lingkungan saja, maka sangat tipis kemungkinan bahwa ia akan mempunyai selera estetik yang berbeda sama sekali. Bila kita kaitkan ke dalam arena seni kontemporer, maka untuk memperluas selera estetik tentu saja mesti dengan memperluas lingkungan-lingkungan yang bisa digeluti dan memperluas sumber-sumber pengetahuan tentang seni itu sendiri. Tanpa adanya usaha seperti itu, selera estetik kita tak akan pernah benar-benar berkembang.

            Di zaman digital seperti saat ini, ketika semua sumber-sumber pengetahuan semakin terbuka dan lingkungan-lingkungan kesenian pun terbuka untuk disimak, maka nyaris tak ada hambatan yang berarti untuk menempa “rasa” dalam diri kita. Sebagaimana yang dikatakan tadi, “rasa” tidak akan datang dengan sendirinya. Pengetahuan kita tentang dunia seni lintas benua dan lintas etnis hanyalah sedikit dari kadar intelektualitas yang dapat mempengaruhi selera estetik kita. Pengalaman melihat dan menikmati berbagai pertunjukan seni juga hanyalah sedikit dari kadar intelektualitas yang akan mempengaruhi rasa. Hal itu disebut “sedikit” karena di dunia digital ini masih banyak hal-hal tak terduga dan tak tersentuh lainnya yang dapat kita telusuri untuk memperluas intelektualitas dan demikian rasa dalam diri kita.

            Soal pengaruh intelektualitas terhadap selera estetik seseorang, kita juga bisa memberikan contohnya pada seseorang yang hanya berkutat di cabang seni yang dimasukinya sendiri. Setiap orang tentu harus mendalami cabang seni yang diminatinya. Hanya saja, orang yang hanya mengurung diri di cabang seninya sendiri akan memunyai corak selera estetik yang berbeda dengan orang yang juga mencoba “mengambil ilmu” atauun “menyerap selera estetik” dari cabang seni lainnya. Semakin luas dan beragam gelanggang yang kita masuki, maka semakin berbeda corak rasa yang muncul dalam diri kita. Semakin kaya “tabungan rasa” dan “tabungan intelektualitas” seorang seniman, maka semakin tak terduga karya yang diciptakannya.

(Redaksi)