ASETI MAGZ EDISI KE-2 DESEMBER 2021

Penghuni Tetap di Dunia Kesenian

Seni Pertunjukan di era Digitalisasi

Sebelum pandemi, ekspresi-ekspresi seni yang menggunakan medium digital bisa disebut tidak terlalu banyak, kecuali yang benar-benar di wilayah seni digital itu sendiri. Tidak terlalu banyak seniman dari cabang seni lain seperti sastra, teater, dan tari yang dengan suatu dan lain cara mencoba modus peciptaan yang melibatkan khazanah digital. Kalau pun ada, meski dalam jumlah yang terlalu sedikit itu, cenderung tidak terlalu diperhatikan, dianggap sebagai sebatas uji coba belaka, bahkan tak jarang dalam nada sinis. Tapi, apa pun itu komentar yang beredar, pada prinsipnya kita memang benar-benar menekuni aspek digital ini, baik sebagai modus penciptaan ataupun sebagai isu penelitian seni.

Situasi pandemi yang sungguh melelahkan dan menyakitkan ini telah membuat ketergantungan kita terhadap teknologi digital semakin meningkat pesan. Berbagai aktivitas manusia, dari serba-serbi keseharian sampai ke bentuk-bentuk ritual tahunan, diselenggarakan dengan menggunakan teknologi digital. Tak terlepas dari itu semua, aktivitas dalam dunia seni pun turut menunjukkan kebutuhannya atas perkembangan teknologi digital. Mulai dari pertemuan antar seniman, seminar, festival tahunan, penciptaan hingga penampilan karya, dan seterusnya, mau tidak mau, mesti menerapkan berbagai strategi teknologi digital.

Kita lihat dan rasakan sendiri, bahkan mungkin pada taraf tertentu sampai merasa bosan, bagaimana dunia digital tak hanya telah membantu kita mengatasi berbagai keterbatasan yang terjadi di masa pandemi, tetapi juga mendorong kita untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang masa depan seni itu sendiri. Tak dapat dielakkan lagi, seni-seni yang ditampilkan di dalam ataupun di luar gedung, seperti teater, tari, dan seni rupa mendapatkan berbagai pertanyaan filosofis dari para pegiat dan pemerhatinya. Isu-isu seputar kehadiran langsung antara karya seni dan penikmatnya merupakan salah satu hal yang hangat dibicarakan. Bahkan, di tengah keyakinan sebagian pihak bahwa ketergantungan pada dunia digital akan berakhir seiring berakhirnya pandemi, dorongan-dorongan untuk mendefenisikan ulang seni pertunjukan turut menyemarakkan diskusi seni di masa pandemi ini. Tentu saja, semua diskusi itu sedang berlangsung dan masih akan terus berlangsung.

Namun begitu, salah satu hal yang jelas-jelas tak bisa dikembalikan ke situasi awal pandemi adalah perihal ketidakpedulian sebagian besar dari kita pada khazanah digital. Kini, keterkaitan kita sudah terlanjur semakin dalam dengan teknologi digital. Yang dulu tidak terlalu peduli dan yang sudah lama peduli dengan dunia digital sama-sama sudah tergantung pada teknologi itu. Pertanyaan banyak seniman perihal kapan pandemi akan benar-benar berakhir tidaklah berarti bahwa kita bisa tidak terlalu mempedulikan lagi kebutuhan akan dunia digital ketika pandemi benar-benar berakhir. Mau tidak mau, dunia digital (baik sebagai bagian dari isi atau bentuk karya) akan menjadi “penghuni tetap” di dunia kesenian kita selanjutnya. Ia tidak lagi berstatus “boleh ada boleh tidak” sebagaimana yang cenderung terjadi di masa sebelum pandemi.

Dengan kata lain, gedung pertunjukan mempunyai status yang sama-sama nyata dengan panggung digital; isu perihal masyarakat pinggiran sama-sama nyatanya dengan isu seputar robot yang menggantikan kerja manusia; warisan tradisional sama-sama nyatanya dengan perangkat teknologi digital yang kita pakai sehari-hari; dan seterusnya. Jadi, kini pertanyaannya: seberapa kuatkah kita mengajukan gagasan baru ataupun menciptakan temuan-temuan baru dalam berkarya dalam kondisi kondisi seperti itu?

(Redaksi)